Beberapa
waktu yang lalu, ada temen yang cerita kalo dia shock (hehehe, lebay)
pas masuk kamar anaknya yang SMP dan menemukan anaknya sedang menghapal,
"Puisi adalah bla bla bla.... Prosa adalah bla bla bla...."
Saya jadi teringat masa sekolah, ketika saya melakukan hal yang sama,
menghafal definisi. Tapi teman itu berkata sengit, "Aku bayar mahal di
sekolah itu, tapi cara mengajar gurunya masih begini!"
Dia pengennya anak2 membaca beberapa prosa dan puisi, hingga dengan
sendirinya ngeh apa itu prosa dan puisi dan perbedaan di antara keduanya
tanpa harus menghapal definisi textbook.
Saya nyengir prihatin
mikirin sekolah tersebut. Nasiiiib punya ortusis yang paradigma
pendidikannya lebih maju. Bakal dikomplen melulu dah. Teman saya memang
menyekolahkan anaknya di SMP swasta mahal yang uang pangkalnya sekitar
30jutaan. ~> tapi kata Wiwiet ini masih standar aja untuk wilayah Jakarta.
Begitulah. Sering kali visi misi sekolahnya bagus, kegiatannya
mencorong, pialanya berjejer, tapi kesehariannya di kelas masih pakai
metode yang sama dengan zaman kita sekolah dulu. Jadi kondisi ini
harusnya digimanain?
Ya guru harus digeser paradigmanya,
dilatih menggunakan beragam metode, dan lebih penting, dibuat sistem
untuk memastikan metode itu beneran dipakai di kelas.
Tapi
sebagai guru sekolah swasta, saya mengerti perubahan itu tidak bisa
cepat. Guru yang baru lulus seringkali tidak terampil, dan guru yang
lama menolak mengajar dengan cara yang lebih efektif. Membuat guru
berjalan searah dengan visi sekolah memang tidak mudah.
Di sisi
lain, ada kendala biaya dan waktu. Di sekolah yang dananya terbatas,
menyisihkan dana untuk pelatihan guru itu tidak mudah. Sementara itu,
sekolah yang memiliki sumber dana lebih, waktu tidak selalu tersedia.
Ada berbagai ujian, urusan administrasi, kegiatan kesiswaan, lomba2,
sampai promosi sekolah. pakai hari Minggu? Mana tega. Sabtu kan masih
masuk full, masa' hari Minggu juga dipake kerja? Guru kan juga manusia
yang punya kehidupan pribadi.
Jadi?
Jadi ya jalani
saja usahanya, siasati saja kondisinya. Untuk mencapai idealisme, memang
perlu pengorbanan. Tidak kuat bayar pelatih, ya pelatihnya KS/WKS
sendiri. Kan mereka memang yang bertanggung jawab meningkatkan kualitas
anak buahnya. Mereka yang harus lebih dulu tau, dan lebih dulu
menerapkan metode terbaru. Tidak ada waktu? Kalau terpaksa sekali pakai
hari efektif, apa boleh buat.
Gurunya tidak mau? Nah iniiiii.... Nah iniiiii....
No comments:
Post a Comment