Lalu tahun ajaran baru datang, dan kami memandang 80 lebih anak baru di hari pertama. Harapan mulai tersemai lagi.
80 anak ini sekarang sudah kelas XII, terbagi ke 3 rombongan belajar. Dan pekan ini, adalah pertemuan saya yang terakhir dengan mereka di kelas.
Kelas XII IPA, mayoritas berisi siswa perempuan. Cerewet, tapi partisipatif, kritis dan pintar. Saya ingat Pak Lutfi keluar dari kelas XII IPA dengan kuping berdenging. "Tu kelas isinya nenek-nenek semua. Rempong!" begitu katanya. Berisik sekali, tapi semua partisipatif tanpa terkecuali.
Saya sampaikan kata-kata di atas pada anak XII IPA, dan mereka terbahak-bahak senang. Nenek Rempong justru merupakan pujian, semacam panggilan sayang untuk mereka.
XII IPA: Photo session in yukata |
Kelas XII BN adalah kelas istimewa. Ini kelas mayoritas cowok, tapi saya sama sekali tidak kesultan. Saya belum pernah melihat kelas dengan banyak sekali bakat menonjol, dari band, sampai marawis, sampai hadrah, sampai seni rupa, sampai bela diri, sampai menulis.
Saya tahu, selama bersekolah di sini, mereka banyak mengalami kekecewaan. Bukan salah saya, memang. Tapi entah kenapa saya ingin minta maaf pada mereka. Saya harap saya sedikit membantu meringankan jalan berat mereka sepanjang 3 tahun ini.
XII BN: Look at the angry bird! |
Kelas XII IPS punya karakter yang berbeda. Berimbang antara lelaki dan perempuan, tapi inilah kelas yang paling menantang.
Sebagai guru, saya berusaha keras memperbaiki diri. Saya membaca buku tentang metode, mencari model pengayaan, dan merancang pembelajaran yang bisa menyenangkan. Hampir selalu berhasil, di semua kelas.
Kecuali XII IPS.
Dengan kata lain, kalau merancang lesson plan, maka harus dicobakan di kelas XII IPS untuk tahu kelemahannya. Bahkan lesson plan yang sukses besar ketika diimplementasikan di kelas lain, belum tentu bisa menarik sekedar antusiasme kelas istimewa ini.
Terus terang, XII IPS sering sekali membuat saya frustasi, ide mentok, mati gaya. Tapi kebahagiaan yang didapat ketika berhasil menjalankan proses belajar di mana semua anak XII IPS antusias dan berpartisipasi, rasanya dua kali lipat dibanding kelas-kelas lainnya.
Kelas inilah yang paling sulit ditundukkan. Kenyataannya sayalah yang malah ditundukkan. Tepatnya, kesombongan saya yang ditundukkan. XII IPS adalah cara berintrospeksi bahwa sebagai guru, saya masih perlu banyak belajar.
XII IPS: Obentou time! |
Ah, tiga kelas yang berbeda, tapi hebat semuanya.
Suatu hari saya sedang ada di belakang kelas memeriksa pekerjaan siswa, katika salah satu siswa berteriak dari depan, "Ibu punya rautan, ga?" Saya bilang ada, itu di tempat pensil. Siswa itu maju ke meja guru, mengorek-ngorek tempat pensil saya.
Tak sopan? Tidak, saya tidak menganggapnya demikian. Kalau anda ada di kelas saya saat itu, anda akan lihat bahwa saya tetap dominan, tak ada yang berbuat kurang ajar atau melanggar. Semua bekerja, seperti yang saya suruh. Cerita tadi menunjukkan bahwa kami akrab, dan saya senang bahwa keakraban kami sampai pada tahap tak sungkan meminjam rautan dari saya.
Saya mengajar Bahasa Jepang, dan terus terang, saya sering dibuat kegeeran oleh kelas XII. Beberapa siswa menambahkan 'nama Jepang' di belakang ID Facebook atau Twitter mereka. Mereka memasang profile pic atau avatar ketika memakai yukata. Mereka menamai lembar tugas pelajaran lain dengan hiragana. Mereka tiba-tiba melakukan dance cover pada lagu AKB48, dan menyanyikan Tegami dari Angela Aki di acara sekolah.
XII IPA-IPS: CLD48? Hwahahaha.... |
Mungkin segala hal yang berbau Jepang itu bukan berasal dari kelas saya, tapi tetap saja saya kegeeran. Dan itu tidak mengapa, karena kegeeran itu membuat saya bahagia.
Ketika siswa baru lulus, biasanya mereka datang ke sekolah dengan rambut gondrong, mengecat rambut, memakai kontak lensa warna warni, segala hal yang menunjukkan I'm free from school. Tapi setelah beberapa bulan, saya menemukan fakta bahwa mereka akan mulai berpikir serius tentang masa depan.
Saya selalu bahagia ketika melihat para alumni, bahkan yang kemampuannya lemah atau paling susah diatur, mulai menemukan kehidupan mereka sendiri. Beberapa datang dengan rutin di SMA Fair kami, yang lain saya tengok kabarnya lewat Facebook, berfoto dengan seragam kerja atau bersama teman-teman kuliah, sambil tersenyum.
Karena itu, saya percaya. Saya percaya bahwa mereka akan bisa mandiri, bermanfaat buat orang lain, dan menemukan kebahagiaan. Tentu tidak cepat hasilnya. Lima atau sepuluh tahun mendatang, saya percaya 100% akan melihat buktinya. Datanglah saat itu ke sekolah, Nak, dan laporkan apa saja yang telah kalian lewati dan dapatkan sepanjang jalan kehidupan.
Mungkin di suatu hari nanti ada yang akan mengatakan pada anak-anak ini bahwa mereka useless dan tidak bisa diharapkan. Bila saat itu datang, saya harap mereka tetap percaya bahwa mereka adalah anak-anak yang baik.
Saya yang jadi saksinya.
Surprise birthday cake from XII IPA |