“Aku berhenti pakai guru les buat anak-anak. Ga kuat
bayarnya.”
Guru privat memang mahal, makanya wajar kalau teman lama
saya itu mengeluh begitu. Kami bertemu di lorong sebuah mini market secara tidak
sengaja. Anaknya kelas 3 SD, setingkat dengan anak saya kalau dia sekolah.
“Memangnya si Tengah ada masalah di pelajaran matematika?”
Tanya saya.
“Nggak sih, tapi dulu kakaknya kelihatan baik-baik, ternyata
pas kelas 5 SD baru ketahuan kalau dasar matematikanya lemah.”
Benar, itulah masalahnya. Kebanyakan anak tidak mencapai
kompetensi di kelas-kelas sebelumnya, hingga jadi masalah begitu naik kelas.
Dasarnya lemah, tapi tak sempat diperkuat. Tak ada waktu menunggu semua anak
kompeten. Jadi kalau sudah kelihatan bisa, ya udah aja deh, dianggap bisa.
Bayangkan saja, dasarnya goyah, terus ditumpuk lagi sama
materi, ditumpuk lagi, ditumpuk lagi, pantas saja ada anak SMA di Tangerang
tidak paham bagaimana menulis kata ‘siapa’ atau tak bisa menjumlahkan pecahan
sederhana dengan benar.
Sebagai guru, saya juga bingung bagaimana menyiasatinya.
Materinya banyak, beneran deh, dan waktunya ngepas. Mestinya kan tiap evaluasi
(misalnya latihan atau ulangan), yang tidak dimengerti harus langsung
diremedial. Bukan diuji ulang, tapi dibahas ulang. Tapi ga sempet, hiks hiks
hiks…
Dan 40 anak sekelas, yang berarti 40 variasi kemampuan, 40
variasi kecerdasan, dan 40 variasi gaya belajar. Kepingin nangis aja rasanya.
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati (Iwan Fals).
Ah, akhirnya, mom cleans the mess, as always. Mudah-mudahan
anak-anak Indonesia punya ibu-ibu yang peduli yah. Bukan peduli nilai, tapi
peduli tentang kompetensi minimal yang harus dikuasai anak-anak mereka.
Cobalah datang ke wali kelas, Tanya apa anak kita siap
menerima pelajaran di kelas berikutnya. Bukan, bukan masalah nilai, tapi
pemahaman yang cukup kokoh dari si anak. Ya, benar. Siap di sini adalah siap untuk sekian belas mata pelajaran.
Mudah-mudahan saja wali kelas anak-anak kita bisa menjawabnya.
No comments:
Post a Comment