26 September 2011

BHAKTI NUGRAHA

Seperti hari Sabtu pagi lainnya di semester ini, saya mengajar di unit SMK Bhakti Nugraha. Ini sekolah istimewa, dan akan saya jelaskan mengapa.



Sambil menunggu anak-anak selesai mengisi tabel latihan hiragana, saya memperhatikan anak-anak kelas X SMK yang biasa dipanggil dengan BN ini. Di tahun pertama, biasanya baju anak-anak akan terlihat bersih cemerlang karena mereka membeli pakaian baru. Badan sudah makin besar, dan yah, ini kan sekolah baru.

Tapi tidak dengan anak-anak BN. Baju mereka tidak baru, mungkin melanjutkan seragam SMP. Terlihat warna coklat membayang di beberapa pakaian. SMK BN berada di bawah yayasan yang sama dengan unit induk saya, yaitu SMA Yapera, tapi ada beberapa perbedaannya.

Yang pertama, 100% siswanya gratis spp, uang makan, asrama, seragam, dan kegiatan pondok.

Seorang rekan guru pernah menulis status di FB, “Andrea Hirata punya laskar pelangi, saya punya BN.” Anak-anak ini berasal dari kabupaten Bogor dan sekitarnya. Bahkan ada yang harus menempuh tambahan sekian jam perjalanan dari kota Bogor, entah di mana kampung mereka berada. Jadi bila tidak ‘diambil ‘oleh BN, mereka tidak bisa sekolah sama sekali.

Anak-anak BN hanya dua minggu belajar administrasi perkantoran di Tangerang. Ke mana mereka dua minggu berikitnya? Ada di desa Tenjolaya, kabupaten Bogor. Mereka mengaji di malam hari, dan mencangkul kebun serta beternak ikan, bebek, dan ayam di pagi hari.

Bayangkan, mempelajari manajemen personalia, stenografi, mail handling, menggunakan komputer dan mesin faksimil selama 2 minggu, lalu memegang cangkul dan membersihkan kandang selama dua minggu berikutnya. Dan jangan lupa kitab kuningnya. Luar biasa bukan?

Saya memandang kembali wajah anak-anak ini. Di bawa oleh yayasan kami dari pelosok, saya mendapat ciri-ciri umum dari mereka pada tahun pertama: ragu-ragu, khawatir, tidak percaya diri, gelagapan, bingung, berhati-hati namun mencoba mengerti dan menyesuaikan diri. Lingkungan, gaya hidup, cara belajar, semua baru. Tentu saja saya bisa mengerti mengapa mereka tampak terlalu cemas.



Saya mengalihkan pandangan ke tembok, dan tiba-iba saya sudah mengangkat ponsel untuk mengambil foto dinding kelas mereka. Ah, anak-anak ini punya bakat, mereka punya kreatifitas, mereka punya potensi. Dan terutama lagi, mereka kuat dan punya keberanian.

Beberapa dari mereka memilih ikut kelas menulis di mana kebetulan saya adalah mentornya. Seorang siswa menulis, “Saya kepingin jadi dokter. Tapi jadi dokter harus dari SMA jurusan IPA, sedang saya tidak bisa belajar di tempat lain selain di SMK BN. Lagipula tidak ada biaya juga untuk kuliah.”

Yang lain mendekati saya di sebuah pagi, “Ibu, anak BN lagi ngirit Bu, jadi ga bisa ke warnet mengerjakan tugas.”

Saya merasa bersalah, tidak menyangka bahwa 3000 rupiah untuk satu jam di warnet bisa jadi masalah untuk mereka. Akhirnya dengan wewenang kepala perpustakaan, anak BN bisa menggunakan komputer milik pustakawan (perpustakaan kami tidak memiliki komputer untuk umum). Mudah-mudahan ini bentuk layanan, bukan penyalahgunaan wewenang.

Ketika raker yayasan kemarin, kepala SMK BN mengakhiri laporannya dengan mengutip surat Al-Maun, yang mengguncang hati:



Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?


Itulah orang yang menghardik anak yatim

Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

No comments:

Post a Comment