Nilai tertinggi alias A: lebih dari 90% lulusan diterima di perguruan tinggi terakreditasi.
=> Wah jelas ga mungkin, kan.
Berikutnya yang B: lebih dari 75% lulusan diterima di perguruan tinggi terakreditasi.
=> Ini nggak juga.
Lalu yang C: lebih dari 50% lulusan diterima di perguruan tinggi terakreditasi.
=> Yah, nggak juga.
Ah, jadi males lihat pilihan selanjutnya. Kayaknya sih dapet 0 poin deh di butir ini ^_^;
Memang yah, gimana juga, sekolah 'bagus' alias terkreditasi A menurut standar resmi Indonesia bukan hanya harus pinter-pinter orangnya, tapi juga harus ada duitnya. Ya pinter dan tajir sekolahnya, juga gurunya, juga siswanya.
Misalnya salah satu butir evaluasi di atas itu, ya ga mungkinlah sekolah tempat saya bekerja ini bisa memenuhinya. Perguruan tinggi terakreditasi? Yang melanjutkan ke bangku kuliah aja bisa dihitung dengan sebelah jari tiap angkatannya, apalagi perguruan tinggi terakreditasi.
Tapi sudahlah, kita lupakan saja butir evaluasi di atas. Itukan yang buat BAN (Badan Akreditasi Nasional), tahu apa sih mereka tentang anak-anak yang saya temui setiap hari.
Ayo kita buat sendiri saja standarnya.
Nilai tertinggi: 90% lulusan menjadi manusia bermanfaat bagi diri dan lingkungannya.
Hmmm...., gimana?
Standarnya susah banget loh ini. Tapi dibanding standar lulusan buatan BAN, yang ini lebih mungkin kami capai. Kalau pakai standar '90% lulusan diterima di perguruan tinggi terakreditasi', hwidiiiih dari mana duit untuk masuknya. Beasiswa, untuk 90% lulusan? Ah, becanda ajah....
Bila manusia bermanfaat yang dituju, saya percaya kami BISA mempersiapkannya. Perubahan paradigma, penggalian minat dan bakat, pembekalan keterampilan hidup, memupuk tumbuhnya motivasi, pembiasaan untuk disiplin. Yah, semua itu tak mudah, tapi bisa dilakukan, dan terutama, biayanya jauh lebih kecil dibanding uang pangkal untuk satu anak di perguruan tinggi top.
Jadi teringat komentar siswa-siswa saya di notes Facebook, beberapa melaporkan dengan bangga bahwa mereka sudah bekerja sekarang. Alhamdulillah, saya sudah cukup bangga bangga dan bersyukur. Standar pertama telah terlewat, menjadi mandiri, artinya bisa bermanfaat untuk diri sendiri, mudah-mudahan juga untuk keluarga.
Apa standar saya terlalu rendah? Masa' sih merasa cukup bahagia lihat anak-anak itu sekedar jadi SPG/SPB di mal?
Hmmmm...., begini sja: DO MORE, EXPECT LESS.
No comments:
Post a Comment