Kenapa keren, soalnya saya jarang menemukan ada siswa yang mikir, terus berani menggugat: "Saya ga melihat ini ada gunanya untuk masa depan saya." Kebanyakan sih nelen aja meskipun setengah mati ga suka dan ga ngerti, semua materi itu untuk apa.
Apa bener Bahasa Jepang adalah pelajaran ga guna? Kata saya, iya juga sih, hahahaha....
Gini. Bahasa Jepang, dan empat macam bahasa lain yang bisa dipilih dalam kurikulum Indonesia sebagai bahasa asing kedua (temennya: Arab, Cina, Perancis, Jerman), diajarkan memang mengawang-ngawang. Ngapain coba menghapal huruf dan karakter keriting plus gramatika, bahkan percakapan sekalipun. Lha konteksnya juga ga ada.
Yang saya maksud dengan konteks adalah, ini semua mau dipake di mana, sih? Buat apa? Mana belajarnya seminggu sekali, terus bukunya nyeremin banget (kalimat-kalimat percakapan panjang gitu, padahal baru beberapa lembar yang lalu belajar tabel hiragana). Yah, kayaknya jaraaaaang banget yang bisa pera-pera setelah 3 tahun.
Kalau Bahasa Inggris, beda. Kita dikelilingi Bahasa Inggris sejak tv sampai lagu sampai manual instruction barang elektronik. Kalo Bahasa Jepang (atau Jerman dan Prancis) kan ga begitu.
Gimana kalo gini aja. Pelajaran bahasa asing kedua jadi semacam pemantik semangat para siswa aja. Nah, kalo ini saya setuju. Siswa diberi wawasan bahwa, "Dunia itu luas, Nak. Jangan batasi diri, kemungkinan itu terbuka kalau kamu mau mencari."
Kalau begini alasannya, jangan banyak-banyak belajar bahasanya. Masukkan lebih banyak tradisi dan budaya.
Nah, ini kan jelas tugas gurunya. Ga heran kalo siswa bilang belajar Bahasa Jepang itu ga worth it, karena mungkin gurunya ga ngasih tau, apa manfaat kamu belajar bahasa jepang, apa yang bakal dia dapat setelah belajar Bahasa Jepang.
Tentu sudah pernah dengar tentang T.A.N.D.U.R, bukan?
T.A.N.D.U.R adalah salah satu metode penyampaian materi di kelas a la Quantum Teaching. Huruf T dan A ini adalah waktu kita memberikan konteks.
T adalah ingkatan dari Tumbuhkan minat. Apa manfaatnya bagi siswa, apa asyiknya belajar ini. Setelah itu melangkah ke A, atau Alami. Biarkan siswa menghubungkan pengalamannya dengan materi. Kalau pelajarannya tentang katakana, misalnya, kita tunjukkan beberapa katakana yang terselip di banner iklan dan bilboard atau label makanan. Ini membuat mereka ngeh, "Oh iya. Katakana itu ada loh dalam kehidupan saya."
Segala definisi dan teori diberikan setelah siswa tumbuh minatnya, dan dapat menghuugkan materi dengan kedhidupan pribadi mereka. Itulah yang disebut konteks belajar, dan harus diberikan di awal segalanya di kelas.
No comments:
Post a Comment