Jika telah membaca buku La Tahzan for Teachers yang saya tulis bersama Gita Lovusa, mungkin anda mengira bahwa saya mengajar di sekolah hampir rubuh semacam Laskar Pelangi. Tidak, di sekolah saya ada 3 gedung, masing-masing berlantai 3 dan 4 dengan halaman luas. Tapi coba dengar cerita ini.
Pada rapat kenaikan kelas tahun ini, seorang guru bertanya, "Ada apa dengan Toni?"
Saya terkejut, dan baru sadar kalau Toni, siswa kelas XI, memang berubah. Dia datang ke sekolah dengan lusuh, tidak bisa diam di kelas, dan makin susah diatur saja. Saya memperbolehkan anak-anak mengobrol jika saya sedang diam (sebaliknya mereka harus diam jika saya bicara), tapi celetukan Toni sudah termasuk luar biasa, mengingatkan saya pada Arif. Apa saja dikomentari dengan suara membahana ke seluruh kelas. Meski demikian, dia bisa mengikuti pelajaran dengan baik.
Saya tidak paham kalau sebenarnya, di bawah sadar, dia mencoba mengkomunikasikan sesuatu.
Dari wali kelas, informasi diperoleh: keluarga tidak harmonis, ayah yang keras, dan kasus-kasus KDRT yang tidak dilaporkan.
Bu Ida bercerita bahwa suatu kali dia menemukan Toni sampai ke sekolah dengan pakaian yang kusut sekali. Ketika ditanya kenapa, dia jawab, "Ini abis dicuci ga disetrika, Bu. Saya nginep di rumah temen. Soalnya bapak saya songong banget orangnya."
Apa arti 85.000 rupiah bagi anda? Satu pan pizza ukuran medium untuk cemilan sore hari? Toni membutuhkan uang sebanyak itu untuk fieldtrip sekolah ke Musium Sains ITB dan Saung Angklung Udjo. Ayahnya tak mungkin diharapkan, jadi ia bekerja menjadi kuli bangunan agar bisa ikut fieldtrip.
Jadi segala celetukan dan banyolan konyol yang kadang garing itu, lalu tawa terbahak-bahaknya yang seringkali sendirian menertawakan hal tak lucu, hanyalah sebuah kompensasi atas kelelahan membawa beban yang berat untuk anak seusia dia.
Ketika masalah berat menerpa siswa di rumah, saya jadi khawatir. Biasanya mereka mulai bermasalah dengan kedisiplinan, sulit berkonsentrasi, dan sering kali bolos. Saya takut sekali mereka terjerumus ke pergaulan yang tidak baik.
Pada anak-anak seperti Toni, siswa-siswa saya yang jadi kuli cuci-setrika dan kuli bangunan, saya kepingin sekali membantu biaya pendidikan mereka. Setidaknya untuk memberi mereka pertanda, bahwa jangan berputus asa. Tapi akhirnya saya harus insyaf, saya tak bisa melakukan itu, karena jumlah siswa dengan kasus yang mirip jumlahnya banyak sekali.
Dengan menakar kondisi pribadi, saya berusaha menggratiskan biaya fotokopi satu dua lembar teks, atau membawa kertas-kertas dan spidol warna sendiri (biaya fotokopi dan peralatan habis pakai memang tidak dicover sekolah). Kadang juga mentraktir mereka gorengan kantin, jika ada rejeki lebih.
Dan itu pula yang menjadikan saya terus bersemangat mengisi materi dengan metode non ceramah. Setelah melewati hari-hari yang berat di rumah, mereka tidak perlu ditambah bebannya dengan pelajaran membosankan dan guru yang galak.
No comments:
Post a Comment