09 October 2008

Tukang Omong

Dengan wajah tertunduk, saya mengakui bahwa saya punya banyak kesalahan dan sering menghadapi kegagalan selama berprofesi sebagai guru. Dan kalau guru salah, ada sekian ratus siswa yang mungkin merasakan akibatnya. Salah satu kesalahan terbanyak yang pernah saya lakukan adalah: kegagalan menahan diri dari menilai siswa lewat kesan pertama, memberi stereotip tertentu dengan melihat sesuatu yang hanya ada di permukaan. Keadaan itu diperparah dengan dua kondisi: sempitnya ilmu dan dangkalnya pemahaman.

Saya tak bisa ingat lagi semua siswa yang telah saya perlakukan tak adil seperti di atas, namun ada satu nama yang masih melekat: Arief Soebarna.

Di tempat saya mengajar, sekolah mengadakan evaluasi keseluruhan setiap tiga bulan, yang membahas semua komponen sekolah, termasuk kedisiplinan siswa. Tahun lalu, nama Arief Soebarna dari kelas sepuluh selalu masuk pembahasan. Hampir semua guru mengeluhkan kelakuannya yang membuat suasana belajar jadi tidak ‘kondusif’ (saya letakkan kondusif dalam petik karena maknanya berbeda bagi tiap orang).

Hobi Arief adalah nyeletuk di tengah-tengan pelajaran, saat guru menerangkan di dalam kelas. Kalau tidak berkomentar yang tidak perlu, ia akan menggunakan kata-kata guru untuk meledek salah satu teman. Yang lain riuh menanggapi, sehingga guru harus berusaha keras membuat anak kembali memperhatikan ucapannya.

Berbagai jurus dikeluarkan menghadapi Arief. Guru sains mempersilakan Arief mempertanggungjawabkan kata-katanya di depan kelas, sementara guru lain membawa air comberan dalam gelas plastik untuk mengancam Arief agar tak buka mulut. Begitulah, saya menerima Arief sebagai si tukang omong di kelas sepuluh sebagai sebuah kebenaran, tanpa mencari pembuktian.

Di tengah semester dua, berhari-hari saya tidak menemui Arief di kelas. Tak ada kabar, sampai wali kelas memberitakan bahwa Arief telah mengundurkan diri dari sekolah karena alasan biaya. Alasan ini lumrah di sekolah kecil seperti kami. "Kelas sepuluh lebih damai," demikian komentar banyak guru, seakan mensyukuri perginya Arief.

Lalu suatu hari, saya menemukan ruang guru yang kosong, menyisakan hanya 1 orang tenaga administrasi. Tak ada guru lain, bahkan guru piket pun tak ada. Takdir menentukan bahwa hari ini hampir semua orang izin bersamaan. Untungnya kelas XII sudah tidak aktif belajar setelah UN. Maka saya menangani sendiri dua kelas untuk belajar materi yang saya kuasai, tentu, Bahasa Indonesia. Yang terpikirkan saat itu adalah berbalas pantun.

Saya pernah mencoba metode berbalas pantun di kelas X sebelumya, saat kami tiba pada materi puisi lama. Hasilnya amat memuaskan. Semua excited, bahkan siswa yang termasuk pendiam pun berani berdiri dan melontarkan pantun untuk memuji diri sendiri atau membalas godaan orang lain. Kelas penuh tawa hingga dua jam pelajaran terasa berlalu sangat cepat. Tak ada tekanan teori, atau ceramah sampai lidah kering dan anak mengantuk.

Nah, saya ingin mencobanya sekarang. Berbalas pantun, siswa kelas X melawan siswa kelas XI, berharap keceriaan yang sama akan tercipta lagi. Tapi kelas X tampaknya merasa agak khawatir berhadapan dengan kakak kelasnya. “Arief udah gak ada sih, Bu.”

Dan mata saya terbuka. Ternyata suksesnya acara berbalas pantun tempo hari sebagian besar adalah campur tangan siswa tukang omong bernama Arief Soebarna. Dia yang menjawab sebagian besar pantun yang dilemparkan pada kelompoknya dengan cepat, tanpa konsep di atas kertas, dan isinya bikin kami sakit perut karena tertawa. Begitu kelompok lain merasa Arief terlalu sering membalas, dia memasok pantun pada teman-temannya, bukan lewat tulisan, tapi lewat bisikan.

“Dia cerdas!” putus saya dengan hati sedih. Sedih karena saya baru melihat bahwa Arief adalah anak dengan kemampuan verbal yang menonjol, justru setelah orangnya sudah tidak ada di sekolah. Tak heran dulu dia begitu banyak bicara, karena itulah yang jadi kelebihannya. Kelebihan yang dianggap sebagai kekurangan oleh kami, para guru, yang mengaku berpendidikan.

Ah, anak ini tentu mengalami banyak sekali tekanan sejak dulu. Tak banyak guru yang mau disela, dan banyak orang dewasa yang tak rela mendengar omongan anak-anak. Semua menyuruhnya, “Diam! Dengarkan! Catat!” Tak ada yang membiarkan dia bicara, bercerita, diskusi, bakan mungkin sekedar bertanya. Seperti kelinci yang dipaksa berenang, tak ada yang membiarkan Arief menjadi diri sendiri.

Saya tidak tahu di mana Arief sekarang. Biar pekan depan, saat sekolah masuk kembali, saya akan tanyakan pada mantan teman-teman sekelasnya. Saya merasa harus mencari Arief. Untuk minta maaf padanya. Untuk menunjukkan bahwa ia akan cocok jadi penyiar radio, tenaga pemasaran, public relation, pendongeng, juru kampanye, pelobi bisnis, atau orator. Untuk meyakinkan, bahwa sungguh, Arief Soebarna juga istimewa.

No comments:

Post a Comment