06 November 2006

Panggilan Palsu

“Tuuuuut…..,” ponsel saya berbunyi. Dari siapa ya? Lagi sibuk gendong anak nih. Si kecil memang lagi rewel. Dengan malas saya meraihnya dengan sebelah tangan. Di layar tertulis: sekolah. Duh.

“Halo….”

“Bu, ini Ida,” suara salah seorang TU terdengar di seberang.

“Iya, ada apa, Da?”

“Ada tamu dari dinas.”

“Kan ada guru piket?”

“Lagi keluar.”

Haaaaah….. Keluar ke mana sih? Jadi saya deh yang harus menerima. Mentang-mentang paling dekat dari sekolah.

“Iya, sebentar lagi saya ke sana.”

Saya menoleh ke jam dinding. Sudah masuk waktu ashar. Dengan malas saya bersiap, memakai pakaian dan jilbab yang paling mudah dan cepat dikenakan, membawa apa yang diperlukan, serta menitipkan dua anak yang sedang flu ke orang rumah.

Sudah masuk waktu istirahat ketika saya sampai di gerbang. Lapangan ramai. Keran-keran air di depan masjid diantri oleh para siswa. Sudah sore, mau apa sih orang Dinas (Dinas Pendidikan Kota) datang? Mengingat pengalaman-pengalaman sebelumnya, saya jadi malas kalau ditugasi menerima tamu dari sana. Banyak basa-basi, dan ujung-ujungnya…. Yah, biasalah. Mudah-mudahan kali ini tidak lama.

Begitu sampai di kantor SMA di lantai dua, saya langsung membuka pintu. Dan…. Jreeeeeng! Kantor yang kecil itu penuh! Ada guru-guru, petugas-petugas TU, penjaga perpus, sampai petugas kebersihan. Tak lama sebuah black forest datang. Lhoooo, jadi mana orang dinasnya niiiih? Ternyata panggilannya palsu!

Lalu doa dipanjatkan sama-sama, dipimpin oleh Pak Sukron, guru agama. “Haajaatunaa ilaika katsiir, rabbi yassir kulla ‘asiir…” Kalimat itu masuk sekali ke dalam hati saya. Sungguh memang banyak sekali yang masih saya cita-citakan, untuk diri, keluarga, juga pekerjaan saya. Belum terwujudnya keinginan itu, membuat sadar bahwa kita hanyalah hamba yang lemah. Hanya kepadaNya kita menyembah dan kepadaNya kita minta pertolongan.

“Ayo, Bu, tiup lilinnya!”

Lho, ada lilin segala?

“Saya lagi flu. Kalau pake lilin, nanti kumannya kena kue. Ketularan lho!”

Jadi kuenya saja segera dipotong. Maka dengan pisau dapur yang besarnya agak mengerikan (apa mungkin punya Mpok Mela, yang jualan es kelapa?), kuenya saya potong. Potongan pertama diberi ke Pak Hilal. Dia wakil kepala sekolah sekaligus adik ibu saya paling bontot. Memang agak nepotisme sedikit nih.

O ya, ayo foto-foto! Tapi tak ada yang bawa kamera. Yah, pakai ponsel saja. Satu mengambil gambar saya depan kue, belasan lainnya menjepret para staf yang kebanyakan masih muda. Lho?

Acaranya cuma berlangsung setengah jam. Tak lama, tapi kesannya amat membekas. Ini kali pertama ulang tahun saya dirayakan sejak umur saya enam atau tujuh tahun. Ini kali pertama juga saya mendapat kejutan seperti itu. Kejutannya bertambah waktu saya tahu kalau kuenya dibuat sendiri oleh TU. Sepanjang jalan kembali ke rumah, bibir saya terus melebar, tak mau dirapatkan.

“AlhamduliLlah, terima kasih ya Allah, atas keluarga lain yang kau berikan di sebuah tempat di mana kuletakkan sebagian mimpiku….”

No comments:

Post a Comment