01 April 2011

SAYA GURU TK?

Kata seorang temn, saya ngajar kayak guru TK meski saya ngajar anak SMA. Jangan salah, saya ga tersinggung kok, bener. Soalnya bukan hanya Oji yang bilang, siswa-siswa saya juga bilang begitu kok. Malah ada yang nulis testimoni begitu di buku tahunan, hehehehe....

Sayanya sendiri juga nyadar tentang hal itu, kok. Saya bilang nyadar, karena memang metodenya dipilih secara sadar dengan menyandarkan pendapat pada beberapa buku, utamanya terbitan MLC (bukan m&c! loh ya ^_^) dan Kaifa.



Dibanding saya, suami saya lebih parah lagi sih kayaknya. Soalnya dia ngajar di mahasiswa, tapi pake metode guru TK juga ^_^. Kalo mau ngajar bawa karton warna-warni dan spidol gambar. Ada sesi gunting-tempel juga, pake majalah majalah bekas yang dibawa mahasiswa.

Mereka main uler tangga juga, dan lagi merancang biar bisa pake
role play untuk materi Uang Beredar, termasuk mikirin kostumnya ^_^. Ngadain cerdas cermat berhadiah coklat, atau yang paling baru, dia ngasih komik. Meski komiknya teteup, komik ekonomi, xixixixi....

Apakah yang kami lakukan membawa dampak positif bagi pembelajaran?

Jadi kan gini ya, pembelajaran itu terbagi dua, ada konteks, ada konten. Konteks itu penting diciptakan untuk menunjang pembelajaran. Guru yang asik, pinter cerita, gaul, itu kan konteks. Ruang kelas yang terang dan bersih, warna dinding yang membangkitkan semangat, penggunaan musik dan poster, tanaman, wewangian, hewan peliharaan (misalnya aquarium), menggunakan saung atau ruang terbuka, dll, semua itu konteks.

Kalau kita memperbaiki konteks mengajar, kita seperti membangun jalan raya supaya pembelajaran melaju dengan mulus.




Tapi ada yang namanya konten pembelajaran. Bagaimana agar pelajaran itu bisa dipahami, diserap, dan dimaknai (ditemukan linknya ke dunia nyata). Nah ini yang lebiiiih sulit ketimbang merekayasa konteks di atas.

Metode gimana nih yang harus kita pake biar suasana fun, tapi
tetep ngerti. Gimana caranya nih biar mereka bisa mengonstruksi sendiri segala pengetahuan itu, bukan sekedar hapal mati. Gimana caranya biar proses recallingnya mudah.

Nah, sejujurnya, saya dan suami masih kesulitan di bagian konten ini. Kalau lihat di EDOM (penilaian online atas dosen oleh mahasiswa), suami saya dibilang lack of skill teaching. And what is that? Apakah karena yang dipakainya bukan lecturing melainkan SCL(student centered learning), maka ada mahasiswa yang ngerasa, "Ni dosen main-main aja kerjanya. Kalo ga main-main, mahasiswa disuruh diskusi dan presentasi. Ngajar dong, Pak, Ngajar!"

Di sisi lain, sebagian lagi malah merasa excited dengan metode guru TK ini. Tapi sayang sungguh sayang, sekali lagi, they don't take it seriously. Meski disampaikan lewat permainan, ga berarti mahasiswa ga perlu belajar untuk bisa ikut permainan. Terutama lagi, bukan berarti ga perlu belajar untuk ujian!

Saya mengira bahwa siswa kita kurang banyak diberi pengalaman pembelajaran yang variatif dan bermakna. Bila ada yang pakai cara yang tidak biasa, dianggap tidak bermakna, sehingga dianggap tidak serius, atau tidak perlu diseriusi.

Kesimpulannya, memang ada orang yang gaya belajarnyanya serius, ada juga yang gaya belajarnya santai. Tapi kalau yang diajar banyak, ya susah untuk memuaskan semua. Akhirnya, kita hanya ada di garis standar, dengan hasil standar, karena cara belajar yang standar. Hampir tak ada tempat untuk memperhatikan keunikan pribadi di sini.

*foto: mind mapping kelas publik suami dan judul komik hadiah untuk pemenang kuis

No comments:

Post a Comment