Saya tak dapat menahan senyum, karena pagi itu, kebetulan sayalah guru yang ditunjuk menjadi pembina upacara. Mungkin seharusnya saya malu, karena Riki berasal dari unit saya, unit SMA. Paling tidak, ini membuktikan bahwa unit kami tidak mempersiapkan diri dengan sempurna. Tapi dibanding rasa malu, perasaan saya didominasi rasa kasihan dan cemas.
Karena rasa kasihan –mudah-mudahan kata ini turunan dari kata 'kasih', saya tak menyinggung sedikit pun tentang kesalahan ini ketika saya memberi amanat pembina. Di sekolah tempat saya bekerja, pembina biasanya mengawali amanat pembina upacara dengan mengevaluasi kinerja petugas hari itu. Dan menurut saya, ini bukan hal bagus.
Bayangkan, anak belasan tahun, beberapa di antara mereka baru beberapa saat lulus dari SD, dikritik di depan sekian banyak orang. Kejam sekali, menurut saya. Bagaimana kalau kritik itu meninggalkan bekas di hati, semacam ketakutan untuk tampil di depan umum?
Saya sendiri mempunyai pengalaman yang sama. Suatu kali ketika SMA, saya menjadi MC juga di upacara Senin, sama seperti Riki. Ketika sampai pada amanat pembina upacara yang lama itu, saya yang bengong jadi lupa kalau saya adalah petugas upacara (penyakit lupa saya memang sudah kronis ^^;).
Saya mengobrol dengan petugas kesehatan yang berjaga agak di belakang. Terus.... terus.... sampai tidak sadar kalau seisi sekolah sedang mencari saya karena pembina telah lama selesai menyampaikan amanat. Jelas saja, ketika saya maju kembali ke mikrofon, semua anak menertawai saya.
Saya malu sekali saat itu, dan merasa bersalah. Tapi kesalahan saya tidak diumbar-umbar di depan umum, saya tidak dihukum karena kesalahan saya, bahkan dimarahi pun juga tidak. Selesai upacara, wakasek, Pak Hanif, mendekati saya dan menasihati dengan lembut. Begitulah, kesalahan harus mendapat evaluasi, bukan hukuman.
Sekolah saat ini, semakin menuntut terlalu banyak dari anak. Anak tak boleh salah. Kalau hasil ulangan jelek, anak dihukum. Kalau tidak bisa mengerjakan, mereka diomeli. Kalau mencoba dan salah, yang didapat adalah cemooh.
Memangnya belajar itu apa, sih? Quantum Teaching mendefinisikan BELAJAR sebagai proses yang mengalir, dinamis, penuh resiko, dan menggairahkan. Belum ada 'aku tahu' di sana. Kesalahan, kreatifitas, potensi, dan ketakjuban mengisi tempat itu.
Memang selalu ada resiko gagal dalam belajar. Seperti mengajari anak naik sepeda, kita selalu bilang, “Jatuh ga apa-apa. Semakin sering jatuh semakin cepat bisa!” Nah, di sekolah harusnya sama saja. “Gagal ga apa-apa. Semakin sering gagal semakin cepat bisa.” Lagipula, kalau anak sudah bisa semua, buat apalagi belajar, lalu apa gunanya sekolah?
Maka begitu turun dari podium upacara, saya segera menjajari Pak Lutfi, wakasek SMA. Tadi saya melihatnya sempat disindir oleh salah satu pimpinan, dan saya cemas Riki akan terkena masalah setelahnya.
"Kayaknya Riki nervous," kata saya.
"Memang," jawab Pak Lutfi. "Sampai begini..." Ia menggerakkan tangan mencontohkan betapa gemetarnya Riki.
Riki sendiri adalah tipe siswa yang mudah sekali jadi sasaran kemarahan. Dua kali tidak naik kelas, sering menimbun poin pelanggaran (yang artinya rajin bolos dan telat), dan saya curiga bahwa dialah yang menulis pada saya dalam secarik kertas anonim bertuliskan 'saya sedang bermasalah dengan polisi'.
Saya bersyukur wakasek bisa melihat kalau Riki memang sudah berusaha, lagipula ini kali pertama baginya. Jangan sampai Riki dipermalukan atau domarahi karena memalukan unit SMA. Kesalahan kecil begini akan mudah dilupakan, sedang ingatan buruk tentang dimarahi setelah tampil di depan atau setelah berbuat kesalahan bisa bertahan lama dan mempengaruhi sisa kehidupan Riki.
Ini foto petugas upacara Senin lalu. Riki salah satunya. Yang mana? Rahasiaaaaa...... ^_^v