Tanggal 8-9 Desember yang lalu, alhamdulillah saya mendapat beasiswa pelatihan Disiplin Positif dari Kampus Guru Cikal. Beasiswa ini hanya selang 4 hari dari seminar Disiplin Positif yang saya ikuti di Sekolah Cikal. Tapi memang seminar 2 jam sungguh tidak bisa disamakan dengan pelatihan 2 hari.
TENTANG DISIPLIN POSITIF
Trainer kami di hari pertama adalah Bu Imelda. Membuka pelatihan dengan games, Bu Imelda sudah memberi inspirasi sejak awal, bahwa sebagaimana yang dialami sendiri oleh peserta ketika mengikuti games, kebebasan pada hakikatnya terikat dengan kesamaan-kesamaan yang dimiliki, atau pada kesepakatan yang dibangun, atau bahkan membutuhkan arahan jika diperlukan.
Lalu kami masuk pada pengertian Disiplin Positif dan tujuannya. Masing-masing peserta mengutarakan kata kunci yang dipahami tentang disiplin, dan mendiskusikan apa sebenarnya Disiplin Positif itu. Bu Imelda mengarahkan lewat pertanyaan-pertanyaan sehingga diskusi mengerucut pada satu pemahaman, bahwa Disiplin Positif menekankan pada perilaku positif, dengan mengajarkan dan menguatkan perilaku baik.
Apa targetnya? Kemampuan anak untuk mengendalikan diri. Di sini kata ‘kompetensi’ mulai banyak beredar. Kita mengharapkan siswa kompeten dalam disiplin positif, bukan hanya tahu, bukan hanya bisa, tapi ‘memiliki’ hal tersebut sebagai perilaku yang menetap dan pada satu titik bisa mempengaruhi sekitarnya.
Di kelas, dari mana awal penerapan disiplin positif ini? Dari peraturan/kesepakatan kelas. Maka tiap kelompok bekerja membuat aturan kelompok untuk kelas tertentu. Beberapa panduan diberikan sebelum kerja kelompok, yakni menggunakan pernyataan positif, fokus pada hasil yang bertahan dalam jangka panjang, batasi jumlah aturan, libatkan siswa dalam penyusunan, terapkan secara bertahap, refleksi dan tinjau ulang jika ada hal yang perlu disesuaikan, dan pelanggaran harus segera ditindaklanjuti.
Namun setelah melihat hasil kerja masing-masing kelompok, diskusi selanjutnya mengantarkan pada beberapa tips dalam membuat peraturan kelas, yakni:
1. Sesuaikan dengan karakteristik siswa di kelas
2. Melakukan warming up dengan membaca buku/dongeng/studi kasus sebelum membuat kesepakatan
3. Fokus pada hubungan anggota kelas dan kenyamanan ruangan
4. Siswa tahu jabaran peraturan (dos and don’ts), biarkan mereka mencari contohnya
5. Foto dan kirimkan ke ortusis untuk diterapkan juga di rumah
Terkait dengan poin ‘segera menindaklanjuti pelanggaran’, kami mendikusikan bagaimana cara menindaklanjuti pelanggaran terhadap kesepakatan. Bu Imelda meberikan kartu-kartu yang berisi contoh-contoh tindak lanjut atas pelanggaran yang terjadi. Manakah tindak lanjut yang baik dan mana yang tidak?
Setelah kelompok selesai berdiskusi dan memilah kartu, Bu Imelda memberi tabel perbedaan antara hukuman dan konsekuensi. Gunakan konsekuensi untuk menindaklanjuti pelanggaran, bukan hukuman. Hati-hati, beberapa hukuman diberi nama ‘konsekuensi’ padahal ciri-cirinya lebih pada hukuman.
Setelah itu masing-masing kami menceritakan pengalaman masa lalu ketika mendapat hukuman. Ternyata semua masing ingat dengan jelas, beberapa bahkan hampir mengalami trauma. Bu Imelda kemudian meminta peserta mengubah hukuman yang diterima di masa lalu menjadi konsekuensi logis, yaitu konsekuensi ang berhubungan dengan kesalahan, sesuai kemampuan anak, memberi kesempatan belajar pada anak, dan tetap menjaga harga diri anak. Karena berhubungan langsung dengan pengalaman buruk di masa lalu, maka tugas kali ini entah bagaimana terasa nyesss di hati.
Pelatihan hari pertama pun selesai.
Hari berikutnya, trainer kami adalah Pak Bukik. Materi dimulai dengan gambar populer Triune Brain, yang menjelaskan bagaimana hukuman tidak akan membuat seseorang menjadi kompeten dalam disiplin positif.
Yang menarik, diskusi membawa kami pada kesimpulan bahwa terkadang baik pendidik maupun siswa sama-sama terjebak menggunakan otak reptil ketika berinteraksi. Guru merasa terancam ketika siswa mulai berulah, dan memilih marah (fight) atau membiarkan (flight). Sementara siswa yang kena marah akan bereaksi sama, melawan guru (fight) atau tak peduli (flight).
Namun Pak Bukik mengingatkan bahwa sebagai guru, kita bukanlah objek, namun subjek. Objek adalah orang bereaksi terhadap kondisi; ‘Jika murid begini maka saya begini” atau “Jika ortu begini, maka saya begini.” Guru adalah subjek, persona yang memiliki kemampuan untuk memutuskan dan mengubah kondisi.
Sebagaimana hukuman, iming-iming pun menjadi hal yang dihindari dalam penerapan disiplin positif. Kenapa? Karena iming-iming bisa menghilangkan makna kegiatan, siswa tidak paham kenapa melakukan sesuatu, dan tidak membangun kemampuan pengendalian diri. Jadi kalau tidak diberi iming-iming, bagaimana memotivasi siswa untuk berbuat baik?
Guru bisa memberikan penghargaan dan penyemangat (appreciation and encouragement). Bentuknya bukan barang, melainkan perhatian. Guru memperhatikan perilaku baik dan menyampaikan apresiasi, yang memunculkan perasaan mampu di diri anak, dan membuatnya ingin mengulangi perbuatan tersebut.
Kemudian materi pelatihan masuk pada 5 Posisi Kontrol dalam penerapan Disiplin Positif. Ada dua hal yang menurut saya paling sulit untuk mengambil posisi sebagai Pemandu/Manajer, yang pertama adalah bagaimana agar sikap ini bisa menjadi perilaku yang menetap dan keluar secara otomatis dari guru, dan yang kedua, bagaimana cara menggali pendapat siswa dan mengarahkan sikap mereka melalui pertanyaan.
TIPS DARI DISKUSI
Sebagian besar sudah saya masukkan ke tulisan sebelumnya, namun berikut saya tambahkan beberapa tips yang dipaparkan dari Bu Imelda, Pak Bukik, serta peserta pelatihan lain sepanjang diskusi dan tanya jawab.
+Maksudnya menguatkan perilaku baik itu yang bagaimana?
-Fokus pada perilaku positif, dengan memperhatikan perilaku positif yang muncul, disebut, dihargai, dibiasakan, hingga akhirnya tertanam tanpa sadar.
+Bagaimana melatih anak tepat waktu datang ke sekolah?
-Datang tepat waktu penting buat anak karena membangun mood yang baik. Buat pagi yang menyenangkan sehingga anak ingin datang tepat waktu. Bisa menggunakan beragam aktifitas, midalnya games yang bermakna. Buat Bank Permainan yang berisi permainan-permainan yang menyenangkan tapi juga berkolerasi dengan materi belajar, meruopakan konteks atau review dari pembelajaran tertentu, atau dapat direfleksikan manfaatnya.
+Bagaimana jika anak sudah minta maaf tapi terus-terusan mengulangi kesalahan yang sama?
-Jangan jadikan kata maaf sekedar sebagai lip service. Urutannya adalah anak melakukan refleksi terlebih dulu. Jangan menasihati, tapi menggali. Paparkan faktanya, tanya perasaannya, cari penyebabnya, bagaimana jika..., apa menurutmu.... Setelah itu sepakati konsekuensi dan biarkan anak menjalaninya, lalu minta maaf.
+Bagaimana jika pelaku pelanggaran tidak mau mengaku?
-Hentikan pembelajaran, ajak siswa lain untuk menghibur korban, ingatkan tentang nilai yang dipegang bersama (kesepakatan kelas), wawancara individual, bahas inti masalah di kelas, kuatkan kesepakatan kelas, bekerja sama dengan ortusis.
+Bagaimana jika anak enggan menjawab?
-Tawarkan alternatif solusi, minta anak untuk memilih tawarkan bantuan jika perlu. Ingat, guru harus benar-benar melaksanakan tawaran tersebut.
+Apa yang bisa menjadi pemicu motivasi internal?
-Rasa penasaran, perasaan otonomi atau menjadi orang dewasa, kesukaan, perasaan mampu/bisa.
+Bagaimana jika anak hanya tertarik satu aktifitas saja?
-Aktifitas yang disukai adalah pintu masuknya. Guru pelan-pelan memberikan tantangan untuk memasuki mata pelajaran atau katifitas lainnya.
HAL-HAL YANG MENGESANKAN
Apa perbedaan membaca buku dengan belajar langsung dari guru? Saya kira, perbedaannya adalah kekayaan dimensi yang dapat dihadirkan. Tatap muka dengan guru artinya kita bukan hanya mendapatkan apa yang tercetak di modul atau ditayangkan dalam powerpoint, bukan hanya hasil diskusi dengan pemandu dan teman, tapi juga hal-hal tersirat lain.
Seperti apa?
Seperti bagaimana pelafalan dan tempo bicara Bu Imelda saat menjelaskan. Bu Imelda tidak bicara lambat seperti pada anak-anak, tapi jelas dan efektif, sehingga peserta bisa menangkap materi dengan baik. Seperti juga bagaimana Pak Bukik mengelola pendapat pro-kontra yang muncul sepanjang diskusi. Hal-hal seperti ini, adalah pembelajaran yang tersirat namun berharga.
Karena kekayaan dimensi yang didapatkan itu, saya berusaha benar-benar merekam hal-hal penting, meskipun tetap saja banyak hal yang terlewat. Sisi samping, atas bawah, maupun halaman kosong di balik modul pelatihan saya dipenuhi dengan catatan-catatan. Kebanyakan merekam berbagai tips sebagai alternatif untuk memecahkan kasus-kasus kedisiplinan yang terjadi di sekolah, beragam hal yang tidak ada di modul pelatihan karena muncul dari pertanyaan dan diskusi peserta.
Saya memperhatikan bahwa Bu Imelda dan Pak Bukik selalu menyediakan waktu agar peserta bisa melakukan refleksi setiap kali selesai kerja kelompok. Saya bahkan mencatat langkah demi langkah ketika Bu Imelda memfasilitasi diskusi kelompok, sejak bagaimana dibentuk, bagaimana jalannya tukar pendapat, sampai bagaimana mempresentasikan hasil diskusi, karena aktivitas ini penting menurut saya.
SETELAH ITU, LALU?
Di kelompok saya, teman-teman peserta lain mengeluhkan satu hal yang sama: kepala penuh! Pemahaman-pemahaman baru, perubahan yang mesti diusahakan, dan setumpuk gagasan dan ide yang bisa diterapkan. Memang begitulah harusnya, bahwa pelatihan harus membawa pada gerakan, dan gerakan ini akan mengubah kondisi ke arah yang lebih baik.
Maka para peserta pulang dengan banyak pekerjaan rumah. Mengubah diri sendiri, berbagi dengan guru sevisi supaya bisa bergerak bersama sekaligus selalu saling mengingatkan, dan akhirnya bisa mempengaruhi lingkungan kerja, tampaknya bukan hal enteng. Tapi jika sesuatu hal kita anggap baik, maka perlu diusahakan sebaik-baiknya.