Dalam sebuah kesempatan, saya mendorong meja ke tengah ruangan dan bertanya, "Silakan maju ke meja, bila ada di antara kalian yang merasa malu karena kurang cantik, kurang ganteng, kurang putih, kurang tinggi, terlalu gemuk, terlalu kurus, atau terlalu banyak jerawat." Segera setelah saya selesai berbicara, ketiga puluh siswa yang ada di kelas itu maju mendekati meja, tanpa sisa seorang pun di belakang.
Saya kaget, tentu saja. Saya jelas-jelas melihat banyak sekali wajah yang manis di kelas itu. Beberapa bahkan memenuhi kriteria cantik atau ganteng, bila kita memakai standar sinetron televisi. Tapi begitulah, semua remaja ini ternyata merasa diri mereka tidak cukup: kurang cantik, kurang ganteng, kurang putih, kurang tinggi, terlalu gemuk, terlalu kurus, atau terlalu banyak jerawat.
Saat itu pula, deretan gambar mengilas di mata saya. Seorang anak perempuan kelas 3 SD yang memakai kacamata minus 4 dan teriakan 'wonder woman' --seorang superhero berkacamata-- dari teman-teman sekelas. Rasa yang ditimbulkan teriakan itu menetap jauh lama, hingga masa-masa SMA. Saya menarik napas. Saya mengerti perasaan ketiga puluh anak di atas tadi.
Kenapa seorang remaja ingin memiliki fisik sempurna? Saya kira, ini berhubungan dengan perasaan dicintai dan merasa berharga. Orang cakep akan banyak dikelilingi teman dan disukai lawan jenis, begitulah yang ada di pikiran remaja. Dalam masa kritis seperti itu, tentu lingkungan akan berpengaruh banyak. Misalnya, berapa banyak bintang sinetron remaja yang tumpah ruah di layar kaca yang memiliki tampang biasa saja? Hampir tidak ada. Ada juga sih, yang jelek, gendut, atau kerempeng di televisi. Mereka menjadi orang jahat, pembantu, atau si konyol.
Saya jadi teringat anak sulung saya yang memang lebih kurus dibandingkan anak seusianya. Hal yang dianggap canda, seperti berkata, "Difi kurus banget, nggak kayak Dede. Susah ya, makannya?" mungkin bisa membekas lebih dalam dibanding yang diduga. Saya jadi merasa bersalah, karena sadar atau tidak, mungkin saya telah berperan mengikis rasa aman dan penghargaan pada diri sendiri dari anak saya. Padahal seharusnya dalam keluarga, setiap anak harus diyakinkan bahwa ia dicintai bagaimanapun rupa fisiknya. Ia berharga karena kualitas-kualitas lain: kesalihan, kecerdasan, kebersihan, kemampuan berempati, atau rasa humor.
Kembali kepada tiga puluh anak remaja di awal cerita, saya sungguh berharap mereka akan bisa melewati krisis ini sekarang, di masa-masa SMA. Setelah itu, banyak hal yang lebih penting dipikirkan. Keputusan tentang pengembangan diri, pilihan masa depan, mungkin juga mencari nafkah dan membangun rumah tangga, harusnya tak perlu direcoki lagi dengan masalah seperti apakah hidung saya terlalu besar atau bagaimana agar kulit ini lebih putih.