19 October 2013

LENTERA JIWA

Kamis kemarin, saya hanya mengajar 2 sesi (@40menit) saja di kelas XII Social. Mungkin karena hari pertama masuk setelah libur Idul Adha, anak-anak kelihatan masuk belum tune in ke pelajaran ^^;.

Saya bertanya, "Mau belajar apa ngobrol?"

Mereka (tentu saja) menjawab, "Ngobrol aja, Bu!" --> nah bagian ini nih yang mengkhawatirkan jadi penyebab keluar SP, hahaha...

Ya sudah, ngobrol aja. Kebetulan, pekan kemarin saya memang tidak bertemu anak kelas XII karena ada Camp, jadi kami ngobrol2 tentang rencana masa depan. Lalu saya putarkan video Lentera Jiwa dari Nugie: http://www.youtube.com/watch?v=pzOz40hwojw

Nah, saat itulah, anak-anak kelas XII Science satu-satu mulai masuk kelas saya, sekitar 4-5 orang. Loh, loh.... Emangnya boleh? Tapi ya sudahlah, saya biarkan saja dengan asumsi mereka juga belum bisa tune in ke pelajaran seperti anak2 di kelas saya. --> bagian ini juga mengkhawatirkan kalo dibaca kepsek, hahaha...

Saya bilang, "I love my job, I really do," tapi tidak semua orang seberuntung saya. Beberapa orang menghabiskan uang dan waktu mempelajari hal-hal yang tidak mereka sukai di jurusan yang kelihatan keren di universitas top. Setelah itu bekerja layaknya zombie, hanya menjalani rutinitas tanpa antusiasme. Saya berharap mereka tidak mengalaminya, karena saya tau sekali rasanya bekerja sesuai passion kita.

Saya menunjuk seseorang di video klip Nugie. Seorang pemuda bernama Eric, 18 tahun, fotografer. Dengan percaya diri menyatakan, "Udah tau sampe tua mau ngapain!" Wuah, keren abis, desyou?

Pertanyaan mulai muncul:
Gimana kalo pekerjaan yang kita suka itu duitnya sedikit?
Gimana bedakan hobi dengan keinginan?
Gimana yang kita suka justru yang nggak easy buat kita?
 Gimana kalo yang kita enjoy hanya tidur?
Gimana kalo yang kita enjoy hanya main game?
dan seterusnya.

Yang menarik, ada siswa yang berkata, "Saya suka banget modif motor, Bu. Kata Mama saya, dia mau bikinin bengkel kalo saya udah lulus SMA. Tapi saya ngga mau. Saya mau kuliah."

Nah, nah... Gimana ini? Saya harus benar2 memilih apa yang ingin disampaikan pada siswa2 saya, karena saya homeschooler mom yang pendapatnya bisa jadi kontroversial bila dikeluarkan di lembaga sekolah (--> kalimat ini juga mengkhawatirkan, hahaha).

 Jadi saya bertanya, "Kenapa kamu mau kuliah?"

 Tapi kemudian bel istirahat berbunyi. Mungkin obrolan kami disambung lain kali. —

MEREKAYASA ATMOSFIR

Tahun ini adalah tahun pertama saya mengajar di sekolah fullday. Sebelumnya saya selalu mengajar di sekolah biasa yang pulang hanya lewat sedikit dari waktu zuhur. Ini perubahan yang sangat saya syukuri, karena perbedaan ini membuat saya berpikir banyak hal, dan menulis lagi. Yah, paling ngga update status terkait KBM, hehehe... Tapi intinya, otak saya bekerja.

Sebelumnya di sekolah-sekolah biasa, saya merasa selalu kekurangan waktu. Waktu habis untuk sedikitnya 16 pelajaran, dan hanya tersisa sedikit untuk mengembangkan diri dan menanamkan karakter. Ataukah memang selalu demikian, bahwa waktu tidak akan pernah cukup?

Memang aneh jika pendidikan karakter diterjemahkan hanya sebagai buku pelajaran berjudul Pendidikan Karakter, dibahas di kelas, lalu dikerjakan soal-soalnya. Bookish abis ^_^, dan sepertinya tidak banyak berpengaruh ke siswa.

Pendidikan karakter harusnya diciptakan atmosfirnya, dipahamkan, dicontohkan, dilatihkan, disediakan fasilitas/wadah ekspresinya, diberi ruang untuk merasakan kenikmatannya, dsb. Anak kita, baik di sekolah maupun di rumah, harus diselimuti dengan atmosfir itu setiap hari sampai karakternya terbentuk.

Misalnya, karakter gotong royong. Jika ada acara, semuanya turun tangan, dari kepsek, guru, TU, hingga pesuruh. Jika ada rapat, sama-sama menyiapkan ruang rapat, selesainya sama-sama membantu buang sampah di satu tempat, bukan ditinggal berserakan di atas meja.

Frase yang harusnya paling sering terdengar adalah, "Apa yang bisa saya bantu?" Semua itu dilakukan tiap hari, di tiap sisi, oleh tiap orang, sampai siswa bisa melakukannya secara otomatis. Berapa lama? Mungkin tahunan. Bila karakter terbentuk, menjalankan disiplin jadi tidak harus dipaksa-paksa.

Nah, itu baru satu karakter. Pemerintah mintanya 18 loooooh.....*lap keringet*

Sekali lagi, atmosfernya yang harus direkayasa untuk mencapai tujuan. Siapa yang menciptakan dan menjaga atmosfir ini? Tentu saja seluruh manajeman dan dewan guru. Maka internalisasi nilai adalah WAJIB bagi pengelola sekolah, dengan segala cara yang memungkinkan. Kepala sekolah harus memastikan atmosfir ini terbentuk dan jadi mindset seluruh pengelola sekolah.

Selama ini di kebanyakan sekolah, pendidikan karakter masih dipelajari, lalu diperintahkan, kalau tidak dilaksanakan ya diomeli. Ini bukan penanaman karakter, tapi sekadar membuat peraturan. Kalaupun terselip dalam proses KBM, seringkali seperti perang gerilya. Sesekali jika ada kesempatan, dan tidak semua lini ikut bergerak. Kalau begini, bisakah sampai ke tujuan?

Ketika mulai mengajar di sekolah fullday, saya melihat kesempatan untuk menanamkan karakter. Bahkan, mungkin memang tak ada pilihan. Anak-anak ini di sekolah hampir sepanjang hari, lebih lama di banding di rumah. Mungkin tak ada pihak lain yang bisa menerapkan seefektif sekolah fullday.

Kalau atmosfir ini tidak terbentuk, atau terbentuk tapi tidak melingkupi dengan konsisten, ah sayang sekali. Anak-anak ini berkesempatan mendapatkan bukan hanya pendidikan, tapi juga pengasuhan (parenting) yang berkualitas, tapi malah lulus dengan 'pengasuhan' teman sebaya saja.