26 February 2012

PEKERJAAN YANG BAIK

Jam tujuh pagi. Seorang guru, datang ke sekolah dengan dasi atau blazer bergaris tegas, bersepatu pantofel, menenteng setumpuk buku. Bersamaan dengan itu, seorang ibu kantin, berkaus, sandal jepit, menenteng kardus snack dan termos air. Manakah pekerjaan yang lebih baik?


Jam sembilan pagi. Seorang pegawai, datang ke kantor, rapi wangi, duduk di depan komputer sambil merasakan hembusan AC dingin di kulit. Di waktu yang sama, seorang montir, mendorong rolling door bengkelnya, membereskan alat yang segera membuat tangan bernoda hitam, bersiap menanti pelanggan. Manakah pekerjaan yang lebih baik?

Pertanyaan ini muncul karena saya teringat anak-anak didik saya yang telah lulus. Saya bertemu dengannya di sebuah pusat perdagangan dan ia mundur sambil menunduk, malu dengan pekerjaannya sebagai trolleyboy. Saya bertemu dengan yang lainnya di tepi jalan, dan ia menghindar karena masih juga menganggur. Saya bertemu dengan yang lainnya lagi, dan ia sibuk mencari nama lain untuk menyamarkan pekerjaannya sebagai waitress.

Kenapa demikian? Perkiraan saya, adalah karena adanya pandangan tentang sesuatu yang disebut ‘pekerjaan yang sesungguhnya’.

Saya juga mengerti sulitnya mencari pekerjaan yang dianggap layak bagi lulusan SMA. Ditambah lagi, mereka biasanya belum menemukan hal yang menjadi minat mereka, dan tidak terbiasa melihat alternatif lain selain menjadi pegawai.

Tapi, apakah pekerjaan yang baik itu? Apakah yang berhadapan dengan komputer? Berkantor di gedung bertingkat? Berpakaian fashionable? Saya kira kita sepakat bahwa tidak demikian. Pekerjaan yang baik dalah pekerjaan yang bernilai ibadah, tapi juga haruslah pekerjaan yang kita sukai, yang memenuhi kebutuhan rohani kita, yang membuat kita bahagia ketika mengerjakannya.

Dan saya teringat novel Sang Pemimpi.

Ikal, tokoh utama novel ini, bekerja sebagai juru sortir di kantor pos. Selain senang dengan baju seragamnnya, ia menemukan kebahagiaan ketika bisa membantu orang yang kesulitan mencairkan wesel. “Maka dengan sebuah cap karet berukiran nama dan nomor induk pegawaiku, aku memberi otorisasi di belakang wesel itu: DIKENAL PRIBADI. Bangga minta ampun aku dengan privilege sebagai pegawai pos itu, selain senang dapat memberi bantuan kecil untuk rekan sekampung.”

Ada lagi, film Janji Joni.


Joni adalah pengantar film, dan dia dengan tegas berkata dia bahagia dengan pekerjaannya. “Pekerjaan menyampaikan sesuatu adalah pekerjaan mulia. Bahkan itulah ini tugas para nabi.”

Inilah yang saya impikan dari para lulusan di sekolah saya. Menemukan pekerjaan yang mereka sukai. Tidak harus berpakaian licin dan berjalan di atas ubin mengilap. Bisa saja berpeluh, bercoreng cat, berkotor-kotor, asal membuat hati bahagia. Lagipula, pada banyak kasus, pekerjaan seperti penjual sate ayam, kadang berpenghasilan sama, atau bahkan lebih, daripada pegawai bank.

Jadi, apa yang akan saya jawab bila anak-anak didik bertanya, “Jadi saya harus bagaimana?”

Tentu saja, jangan bosan bila saya mengatakan temukan minatmu, lalu bangun mimpi-mimpimu. Jangan biarkan pandanganmu tertipu dengan tampilan luar yang mentereng, karena hatimulah yang lebih penting.

Kalaupun akan lama hingga mimpi itu bisa terwujud, tak apa. Kerjakan apa yang ada, ambil kesempatan yang tersedia, walaupun sebagai cleaning service atau bahkan pembantu rumah tangga. Tapi jangan biarkan impianmu mati. Jangan. Walaupun jalannya akan berkelok-kelok, kadang terpaksa berhenti sejenak, tapi tetaplah mengarah ke sana, ke mimpimu.

SEKOLAH YANG MENGANCAM


“Lari lima putaran! Jemur satu jam! Jalan jongkok sampai pagar!
Pernah menerima perintah-perintah seperti di atas ketika sekolah dulu? Apa sekarang anak-anak anda masih menerima hukuman yang sama di sekolahnya? Di sekolah tempat saya mengajar, ya, masih.
Primitif memang, mengganjar kesalahan seperti terlambat, tidak memakai atribut lengkap, absen, atau kabur melompati pagar sekolah dengan hukuman fisik. Jaman berlalu, dan sistem yang sama masih berlaku. Pertanyaannya: apakah ini penerapan disiplin, atau kekerasan dalam pendidikan?
Jangan kira kami tak melakukan usaha perbaikan. Sudah beberapa tahun belakangan, sistem poin diterapkan. Surat-surat peringatan dikeluarkan pada batas jumlah poin tertentu, dan ada batas maksimal poin pelanggaran bagi setiap siswa. Inginnya adalah sebuah sistem yang lebih beradab, yang bisa mendorong siswa untuk berprilaku baik tanpa mengandalkan kekerasan. Bagaimana hasilnya?
Kami mengevaluasi tingkat pelanggaran. Ternyata, anak-anak ini merasa tidak ‘terhukum’ oleh catatan poin, dan jumlah kasus semakin banyak terjadi. Baru semua ribut-ribut pada saat dapat surat peringatan dan pemanggilan orang tua. Tiap semester, wali kelas vs bagian kedisiplinan bersitegang membahas apakah siswa A atau siswi B dipertahankan atau tidak. Semakin banyak jumlah siswa yang masuk dalam daftar pembahasan, ketegangannya semakin bertambah.
Mungkin kami tak cukup sabar menunggu, karena di mana pun sistem baru memang perlu waktu. Sayangnya kami tak punya yang namanya waktu. Daripada kedisiplinan berjalan amburadul dan mempengaruhi iklim belajar, sistem hukuman primitif pun kembali dilakukan: kami mengancam dengan hukuman fisik.
Beberapa guru mencoba mencari jalan lain untuk mengganti ancaman hukuman fisik. Ada guru yang mewajibkan anaknya melafalkan wirid tiga kali balik. Ada guru yang mewajibkan menulis istighfar 300 kali, ada guru yang mewajibkan menulis tiga lembar rumus matematika sebelum anak masuk kelas.
Lalu pertanyaan berikutnya: apakah nantinya hukuman identik dengan zikir, istigfar dan rumus pelajaran? Kalau iya, bagaimana bila anak trauma pada hal-hal baik tersebut nantinya, hingga sampai seterusnya akan menghindari zikir, istighfar dan rumus?
Tapi ancaman di sekolah memang bukan cuma fisik saja. Sering kita temui ancaman verbal, juga mental yang dilakukan atas nama ‘menjaga kedisiplinan dan efektifitas belajar’. Satu lagi, nilai. Kerjakan ini, kamu dapat nilai. Jangan coba-coba mangkir, merah nilaimu, tak naik kelas kamu.
Suami saya adalah termasuk orang-orang pertama yang ditugasi pihak fakultas untuk menerapkan SCL pada matakuliah yang diampunya. SCL, atau student centered learning, menghendaki dosen berlaku sebagai fasilitator. Dia harus berupaya membangkitkan motivasi terhadap mata kuliah tersebut, sehingga tak perlu ada ancaman untuk membuat anak-anak ini belajar.
Berhasilkah? Tidak selalu. Berkali-kali suami saya mengaku hampir putus asa. Merasa sudah berusaha maksimal berimprovisasi seraya menjauhi negative encouragement, tapi ternyata anak-anak yang kuliah di perguruan tinggi negeri favorit ini tak merasa harus bergerak bila tak diancam akan gagal bila tugas tak diserahkan atau absen kosong melompong.
Manusia, katanya, adalah pembelajar alami. Semua yang diketahui anak hingga usia 4 tahun adalah hasil belajarnya yang alami, penuh semangat dan antusiasme. Di sekolah, ke mana antusiasme itu? Kenapa kita harus mengancam agar anak mau belajar?
Mungkin memang baiknya hukuman dikaitkan dengan hilangnya kesenangan. Bila anda melanggar, kesenangan yang anda dapat di sekolah akan hilang. Kelihatannya cukup adil, bukan? Sayangnya saya belum menemukan, kesenangan apa kira-kira yang masih ada di sekolah sekarang ini.

ASIKNYA SEKOLAH

Suatu kali saya dan si Akang membahas tentang hal-hal menyenangkan di sekolah. Kami tampaknya menjalani kehidupan sekolah dengan cukup mulus. Punya teman, nilai tak bermasalah, SPP terbayar tepat waktu. Hal-hal di atas seharusnya bisa menambah panjang daftar 'Asyiknya Sekolah' milik kami.

Sementara yang kami dapatkan adalah:
#ngumpul bareng temen
#becanda, ngobrol, dan curhat
#jalan bareng sepulang sekolah
#ngecengin temen cakep
#main basket di lapangan yang luas (khusus untuk si Akang)
hm..., apalagi yah?

Kami bukan siswa yang suka 'ngegencet' adik kelas, jadi 'ngerjain orang' tidak masuk daftar. Walaupun saya cukup aktif di osis, saya belum yakin ikut osis masuk ke kategori asyik. 'Pakai seragam' juga agak aneh, kalau tidak bisa dibilang konyol, untuk diletakkan dalam daftar. Apakah 'bisa nyombongin sekolah sendiri ke orang-orang' juga bisa dijadikan hal asyik di sekolah? Mungkin tidak. Bagaimana dengan mengerjakan PR, membaca, diskusi? Becanda, kali... Jadi sementara itu dulu isi daftarnya.

Ngomong-ngomong, daftar di atas itu kok sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan tugas kami di sekolah: BELAJAR. Tampaknya kami sedikit sekali punya kenangan asyik soal proses belajar mengajar yang dijalani. Maksudnya, amat sedikit sekali guru yang menginspirasi dan tak banyak peristiwa yang membangkitkan keingintahuan lebih dalam tentang satu materi pelajaran.



Barangkali benar juga bila ada orang yang bilang, kalau tidak sekolah, anak akan kesulitan sosialisasi. Semua anak pergi ke sekolah, jadi kalau mau berteman, ya memang harus pergi ke sekolah. Itu tampaknya jadi bisa menjelaskan keheranan saya pada anak-anak didik saya.

Pada hari efektif, mereka seperti harus diseret masuk sekolah. Sampai diancam akan dijemur agar mau tepat waktu mengikuti jam pelajaran. Tapi begitu tidak diwajibkan sekolah, malah datang ke sekolah. Hari Minggu nongkrong di halaman sekolah. Liburan panjang janjian di sekolah. Kalau ada rapat guru dan mereka disuruh pulang cepat, malah kumpul-kumpul di bawah pohon, enggan pulang. Ya itulah, mungkin karena asyiknya sekolah ada di bagian 'berteman'nya.

Nah, kalau begitu, kita ubah saja tujuan sekolah, bukan untuk belajar tapi untuk sosialisasi. Guru tak pusing mengejar kurikulum, siswa tak berat memahami tumpukan pelajaran. Tapi kalau hanya sosialisasi, barangkali kita dirikan saja taman bermain.

Proses 'memikirkan pendidikan' (halah, bahasanya) ini rupanya belum juga sampai ujung.

TERIMA KASIH

sEORANG SAHABAT bilang kalo dalam budaya kita, amat jarang orang tua bilang terima kasih sama anaknya. Saya langsung keingetan kalo dalam dunia pendidikan, guru juga amat jarang bilang terima kasih pada murid-muridnya.

Kenapa nggak? Ya, kenapa nggak. Saya bahkan belum lama jadi guru, tapi ternyata anak-anak ini justru ngasih banyak pada saya, mungkin lebih banyak dari yang saya beri pada mereka.

(lalu pas lagi berpikir begini, si akang nyalain windows media player. ini jodoh namanya, karena ternyata yang diputar adalah harmoni dari padi)

aku mengenal dikau
telah cukup lama separuh usiaku
namun begitu banyak
pelajaran yang aku terima



Karena anak-anak ini, saya ngerti tentang what so called 'mencintai pekerjaan'. Bahasa kerennya: saya mengenali lentera jiwa saya. Selalu aja sempet kepikiran, apa tahun ajaran depan akan membosankan? Kayaknya semua dah 'diabisin' tahun ini. Tapi nggak, kok. Sudah 4 tahun ajaran berlalu, dan alhamduliLlah antusiasme ini belum pudar.

Ngeliat pas anak-anak ini ketawa, pas mereka muram, pas mereka nyontek, pas kening mereka kelipet-lipet, membuat saya menulis banyak catatan di blog ini. Padahal saya bukan penulis. Iya, anak-anak ini memang ilham.

Saya jadi sadar banyak hal, nyoba-nyoba mengevaluasi masa lalu, sambil berupaya mencari yang terbaik untuk anak-anak saya di rumah, dengan berkaca pada murid-murid di sekolah.

kau membuatku mengerti hidup ini
kita terlahir bagai selembar kertas putih
tinggal ku lukis dengan tinta pesan damai
dan terwujud harmoni

Dari dulu saya selalu ngerasa kalo saya tuh orang yang biasa-biasa saja. Gak cakep-cakep amat, gak berbakat banget, bukan yang tipe gaul abis, bukan yang super jenius, gak ruarrr biasa lah. Tapi anak-anak ini bilang kalo cara saya ngajar lumayan, dan kadang-kadang juga bisa asik.

Saya suka perasaan ketika saya disukai, karena saya merasa... oh, barangkali saya berbakat juga, barangkali saya bisa sedikit kreatif juga, barangkali saya bisa jadi hebat juga.
Dan saya jadi nyoba untuk jadi begitu.

segala kebaikan
takkan terhapus oleh kepahitan
ku lapangkan resah jiwa
karna ku percaya kan berujung indah

Belum lagi anak-anak ini gak pernah ngebiarin saya jadi 'tua', atau brenti puter otak. Mereka tau, mereka gak butuh kelas penuh ketegangan dengan guru yang gak rela mingser sesenti pun dari buku paket.

Jadi?

Jadi, terima kasih ya Allah, atas kesempatan jadi guru dan bertemu anak-anak ini. Mungkin saya gak selamanya jadi guru. Yah, siapa tahu. Tapi yang pasti saya gak akan pernah, gak akan pernah, nyesel atas empat tahun (dan tahun-tahun berikutnya) yang berharga ini.

Terima kasih ya, murid-muridku.

GILIRAN MENDONGENG

Senin (10/8) kemarin saya kebagian giliran tugas. Bukan, bukan ronda, tapi jadi pembina upacara. Inget deh pas pertama kali jadi pembina, sempat salah loh. Kan MC bilang, "Pemimpin upacara memasuki lapangan upacara." Dengan pede, saya naik ke atas podium. Padahal pemimpin upacara itu kan siswa yang di tengah lapangan, bukan saya. Ya udah, turun lagi deh saya dari podium, hehehe. Maluuu, tapi biarlah, sudah berlalu ini.



Nah, kali ini sudah lebih santai. Minimal gak sakit perut lagi. Apalagi buku Satu Tiket ke Surga, boleh pinjem dari Mbak Gita, masih fresh di otak. Loh, apa hubungannya?

Begini. Sejak pertama kali dapat giliran, saya sudah janji gak mau ngasih nasehat basi: rajin-rajinlah belajar, dan jangan lupa SPP dibayar. Saya bahkan gak inget apalagi isi amanat upacara selain dua hal itu.

Ada juga pembina yang mengisi amanat dengan 'evaluasi petugas upacara'. Yang bener aja, masa' anak 12 tahunan dikritik di depan seribu anak dan puluhan guru, hanya gara-gara keliru mengucap nomor ketika memimpin janji siswa.

Jadi biasanya amanat saya isi dengan cerita. Biasanya pakai tamsil, atau bahasa sononya: cerita asosiatif. Nah, dibuku yang saya sebut di atas, banyak banget cerita asosiatif yang buagus.



Karena cerita model itu ada tokohnya, ada dialognya, maka hasilnya adalah amanat upacara yang tidak serius. Gimana, ide bagus, gak tuh?


Kalo gaya ini adalah ide brilian, pasti yang lain bakal ikut, dong. Tapi nggak tuh. Rupanya seperti bagaimana cara berjalan ke tengah lapangan telah ada pakemnya, demikian pula dengan amanat. Ya biar sajalah. Kan juga saya gak sering jadi pembina, tiga kali setahun aja udah keitung kebanyakan. Yah, itung-itung variasi, begitu.

Nah, hari Selasa ada rekan guru yang bilang, lewat fb, "Bu, ajarin dong," katanya, "biar bisa menyampaikan sesuatu gak to the point kayak di upacara kemaren."

Lha, sayanya yang jadi bingung. Ajarin gimana? Atau... O, ow... Jangan-jangan dia menyangka bahwa sayalah yang mengarang semua tamsil yang saya ceritakan di upacara.

Saya memang gak bilang ngambil cerita dari mana. Saya bahkan gak tau kalo kita harus menyebutkan sumber sebelum mendongeng. Wah, jadi merasa bersalah nih...

TENTANG UJIAN

Seorang sahabat mengeluhkan buruknya kualitas soal-soal yang diberikan pada anak-anaknya di sekolah (Indonesia). Sebenarnya, saya juga mengalami kasus yang sama. Bedanya, posisi saya saat itu bukan sebagai orang tua, tapi sebagai guru.

Di sekolah kami, soal ujian semester didistribusikan dari UPDT Rayon 3 Ciledug. Koreksi tetap diserahkan ke guru sekolah masing-masih. Pernah, suatu kali, saya membonuskan 22 soal Bahasa Indonesia untuk kelas sepuluh, dari 45 soal yang ada di lembar soal.



Karena putus asa, saya sampe nanya ke suami, "Kang, nih baca deh, soalnya. Soalnya yang kacau, apa akunya sih yang goblok?"

Ada soal yang gak jelas logikanya. Ada yang salah tanda baca (kebangetan, ini kan soal Bahasa Indonesia). Ada yang gak ada jawabannya. Ada yang jawabannya lebih dari satu. Ada yang pilihan jawabannya aneh (keabisan ide, kali). Karena belum pernah separah ini, saya memang benar-benar jadi curiga: jangan-jangan soalnya baik-baik saja, dan sayalah yang bodoh.

Sebenarnya, tes adalah salah satu teknik evaluasi. Anak-anak kita diberi soal agar kita tahu sejauh mana mereka menyerap pelajaran. Namun sebagaimana umumnya sekolah di manapun, demi efisiensi, digunakanlah sistem evaluasi massal. Instrumennya adalah ujian dengan menjawab soal pilihan ganda.

Ah, saya jadi kepingin punya sekolah sendiri. Biar isi sekolah bisa ngatur semaunya, tidak usah mengikuti peraturan pemerintah, ataupun maunya yayasan. Tapi untuk punya sekolah seperti itu, harus punya banyak uang, bukan?



Nanti di sekolah itu, anak-anak boleh pilih kelas apa yang mau di masuki, atau kalau tidak mau, baca saja di perpustakaan. Mereka akan ikut fieldtrip yang banyak, lalu magang di mana-mana.

Tentu saja, harus ada evaluasi, untuk memastikan mereka belajar sesuatu. Setiap habis aktifitas, harus ada recalling pengetahuan yang diserap. Tapi, bentuknya tentu saja bukan soal-soal.



Yang mau bikin puisi tentang atom, bikinlah. Yang mau bikin lagu t
entang euclidian theory, silakan. Yang mau memvisualisasikan puisi Sapardi Djoko Damono lewat gerakan, boleh. Yang maunya ujian dengan bikin benda, prakarya, masakan, lukisan, foto, cerpen, pertunjukan, semua boleh. Semua boleh.

(saya bener-benar kepingin jadi orang kaya)

GURU HARUS LAPANG DADA

Saya sudah coba apa yang terpikirkan di benak. Segala yang memungkinkan untuk membuat pembelajaran berlangsung menyenangkan. Bahkan jikapun harus berkhianat pada kurikulum. Tapi memang, tak selalu berhasil.

Maka saya tulis di judul: guru harus lapang dada.

Sabtu kemarin kami mempelajari kosa kata lewat sebuah lagu. Sayangnya gedung sekolah sedang mati lampu, maka saya membawa anak-anak ke perpustakaan yang listriknya ternyata menyala.



Ketika semua sudah duduk (perpustakaan kami lesehan), saya teringat seorang rekan guru di Salatiga. Ia memberi kebebasan bagi yang sedang tidak ingin mengikuti pelajaran, asal mereka ada di dalam kelas. saya juga ingin mencoba.

Maka saya umumkan agar anak yang ingin belajar agar mendekat pada saya, dan anak yang tidak ingin agar mencari tempat di mana saja, asal tetap dalam ruangan.


"Nilai saya gak bakal turun kan, Bu?" beberapa anak mencoba memastikan. Saya tersenyum, tentu saja tidak.

Pelajaran berlangsung. Dalam kisah guru di Salatiga itu, anak-anak yang tidak mau belajar akhirnya nimbrung juga, tertarik juga. Sayangnya dalam cerita saya, hal itu tidak terjadi.

Mereka tetap di sana, tidur-tiduran, mendengar musik dari ponsel, membaca komik.

Oke, tentu saja saya tak boleh marah. Saya bahkan mencoba mengerti. Hari itu hari sabtu, dan anak-anak itu tentu sudah lelah belajar segalanya selama seminggu. Mungkin otak mereka hampir overload. Mungkin ini kesempatan untuk bersantai sejenak.

Kalau saya menyuruh mereka mengikuti pelajaran, saya tau mereka akan menurut. Selama ini, belum ada siswa yang menolak bila saya meminta mereka melakukan sesuatu. Tapi kali ini mereka diberi kebebasan, dan saya senang bereka tidak takut memilih di depan saya.

Hanya saja, yah, hanya saja, saya pikir pelajaran yang saya bawakan lumayan variatif, dan bisa menarik minat. Tapi memang pada akhirnya, walaupun telah berusaha, guru harus lapang dada.

Saya jadi teringat pertanyaan seorang rekan guru lain pada seorang siswa ketika keduanya online di facebook, "Kenapa tadi gak masuk?"

Coba apa jawaban si siswa? "Cucian numpuk, Bu. Bantuin Mami nyuci."

Bagi guru yang mendedikasikan hidupnya untuk mendidik anak-anak, boleh jadi jawaban ini bisa menyakitkan hati. Sudah menempuh satu setengah jam perjalanan, menyiapkan worksheet, berpikir bagaimana cara agar anak-anak belajar semudah mungkin, sambil memperhatikan dan mencoba menyelesaikan masalah-masalah pribadi mereka juga lewat konseling, dan semua itu dikalahkan oleh cucian.

Tapi lagi-lagi, guru harus lapang dada. Belajar di sekolah tidak selalu menjadi pusat kehidupan para siswa. Dan memang tidak harus begitu.

Karena itulah, mengajar seharusnya bukanlah untuk sencari senyum manusia. Degan demikian, tak ada yang sia-sia kan, rekan Guru?


Lalu setelah mengalami -dan menyadari- beberapa hal tadi, apa saya jadi kapok memberi pilihan pada siswa seperti yang saya lakukan di perpustakaan?

Hm, anehnya tidak. Saya akan lakukan lagi kapan-kapan.

SAYA DAN FACEBOOK

Saya mengerti, beberapa sahabat memilih untuk tidak membuka account di Facebook, karena berbagai alasan. Bila saya kemudian tetap membuka account di sana, tentu saja bukan tidak setuju dengan para sahabat saya tersebut, namun karena satu alasan, yakni agar saya bisa terhubung dengan beberapa orang penting: murid-murid dan mantan murid saya.

Bila pada keluarga dan teman-teman, sayalah yang meng-add mereka untuk jadi teman, sedang pada murid, saya memilih menunggu. Tentu tak semua murid nyaman bila ada guru yang memasuki zona pertemanan mereka.

Mereka yang meng-add saya tentu adalah mereka yang percaya dan membuka diri pada saya. Maka, giliran saya yang harus menahan diri dari kebiasaan guru di sekolah: kepingin tahu dan sok menasihati.

Suatu hari, saya terkejut membaca relationship seorang mantan siswa. Ia menulis di sana: married to... Saya cek nama yang tertera, dan ia memang istrinya, dengan satu anak balita. Loh, dia kan baru lulus dua angkatan lalu, bagaimana mungkin sekarang sudak memiliki istri dan anak, kecuali bila ia menikah langsung setelah lulus.

Lalu ia mengirim profile picture seorang perempuan dengan tulisan: my wife. Saya sudah penasaran setengah mati ingin tahu ceritanya, tapi akhirnya dengan susah payah bisa menahan diri dan hanya berkomentar: "Cantik!"

Alhamdulillah, saya bersyukur telah menahan diri untuk tidak melontarkan pertanyaan yang menyelidik. Mantan murid saya itu kelihatannya amat senang dengat satu kata yang saya ketik itu. Ia bilang terima kasih, dan berjanji akan menyampaikan pada orangnya.

Mungkin tidak kepingin tahu memang lebih baik kali ini.

Beberapa waktu berselang, seorang mantan murid membuka kotak chat pada saya. Ia bukan alumni, karena drop out saat hampir ujian nasional tahun lalu. Walaupun perbaikan sudah dicoba lewat konseling, sampai diancam dengan hukuman, kadang dunia luar memang lebih kuat dari sekolah.

Lagi-lagi saya kepingin tahu, apa dia melanjutkan di sekolah lain? Apa dia punya ijasan SMA? Akhirnya saya mempersingkatnya dengan pertanyaan: "Sekarang sibuk apa?"


Dia menjawab: "Saya tidak akan melupakan Yapera, Bu. Sekarang saya lagi nunggu, insya Allah besok udah mulai kerja."

Saya menangkapnya sebagai: saya tidak lulus SMA, dan memilih bekerja. Akhirnya saya menuliskan, "Sukses, ya!"


Dia mengetik: "Terima kasih ya, Bu. Baru ibu yang mendukung saya."

Saya terkejut. Ya Allah, saya sekedar bilang, 'sukses ya!' dan menurutnya saya adalah orang pertama yang mendukungnya. Saya tidak bisa membayangkan apa yang dilakukan orang2 lain di sekitarnya selama ini, mengingat ia tidak lulus SMA.

Saya bersyukur karena tadi masih bisa menahan diri, tidak sok tahu dan sok mensehati, walaupun kepala saya sudah penuh dengan petuah-petuah klise tentang masa depan cerah dan cara menggapainya.

Yah begitulah, saya ada di Facebook, demi berhubungan dengan beberapa orang penting seperti dua di atas ini.

HATI-HATI BUAT SOAL

Saya dan si Akang sama-sama sedang mengoreksi ujian pekan ini. Bedanya, si Akang ngajar mahasiswa, saya ngajar siswa ^^. Sambil mengoreksi, kami ngobrolin soal pembuatan soal ujian semester gasal.

Si Akang mengeluhkan soal yang dibuat bersama oleh tim. Apa sulit? Bukan sulit, tapi 'sulit'. Menurutnya, rumus-rumus yang digunakan mudah, tapi angka yang diberikan sangat berbelit-belit. Tidak mungkin mengerjakannya tanpa scientific calculator, padahal tidak ada pemberitahuan agar membawanya.

Pertanyaannya: kenapa banyak dosen suka memperumit soal dengan hal-hal yang tidak prinsip, sih?

Bukannya memastikan mahasiswa paham modelnya, malah membuat mereka ribet dengan angkanya. Bagaimana dengan ketelitian? "Mereka anak IE, bukan Akuntansi," kata si Akang. Penekanannya bukan pada ketelitiannya, walaupun tentu saja perlu, tapi pada pemahaman konsepnya.


Kebetulan, hal yang agak mirip terjadi juga di sekolah. Ketika rapat, beberapa guru mengeluhkan bahwa soal yang didistribusikan dari rayon menyimpang dari materi di buku.

Seorang guru bilang, setelah mencari-cari berbagai sumber, di buku keempat barulah dia temukan materi seperti di soal. Jadi soal yang diberikan adalah materi yang diambil hanya dari salah satu buku yang tidak ditemukan di buku lain (siapa sih nih yang bikin? nyusahin orang aje....).

Guru kedua bilang, soalnya mudah, tapi bahasanya dibuat tidak mudah. Kalau kasus si Akang di atas, angkanya yang dibuat ribet, kali ini soalnya yang dibuat panjang-panjang dengan bahasa yang terlalu ilmiah.


Mendengar beberapa kasus di atas, saya jadi teringat sebuah tulisan tentang rasa gagal dan hubungannya dengan keberhasilan belajar.

Sering kali, anak-anak ini sebenarnya mampu, tapi dalam evaluasi yang diberikan guru, mereka kalah sebelum berperang. Kalah oleh apa? Oleh hantu bernama 'rasa gagal'.

Dari mana rasa gagal itu didapatkan? Salah satunya adalah, menurut saya, dari soal yang dibuat ribet (bukan sulit).


Ketika anak putus asa mengerjakan soal, bukan akibat tidak belajar, tapi akibat soal yang ribet, mereka akan merasa: "Saya bodoh, ternyata. Udah belajar tetep ga bisa. Geografi pelajaran yang susah ternyata. Saya ga suka geografi."

Inginnya membuat anak teliti, hasilnya anak jadi frustasi.

Mungkin ada baiknya orang tua meluangkan sedikit waktu, untuk sesekali melihat soal yang diberikan sebelum memarahi anak ketika nilai mereka jelek. Mungkin saja yang 'bodoh' bukan anaknya, tapi soalnya ^^;.

Buat para guru, yuk kita kembali berbenah diri.

SAKIT HATI

Adakah yang bisa memberi saya tips, bagaimana agar anak-anak yang kita didik di sekolah tidak menyontek?

Saya selalu malas bila sudah waktunya mengoreksi ujian, baik UTS maupun UAS. sebabnya jelas: ada saja anak-anak yang menyontek. Saya memang tidak mengawasi ujiannya, tapi hasil yang ada di kertas memang mengecewakan. Jawaban yang sama, sampai ke huruf-hurufnya (saya tidak pernah memberi soal pilihan ganda). Bahkan ada jenis tulisan yang berbeda dalam satu lembar jawaban, tanda kalau kertas itu dipindah-pindahkan selama ujian.



Sebelum ujian (aduh, saya jadi emosional sekali sekarang ini), saya sudah menjelaskan berkali-kali, bahwa anak-anak ini tak perlu memiliki nilai bagus dalam ujian. Tak semua anak menyukai mata pelajaran yang saya ampu. Saya pun tak mau memaksa. Dan tak semua orang berbakat di bidang bahasa.


Lalu darimana nilai didapat? Dari kuis harian, yang saya ambil setiap kali saya masuk. Tapi nilai selalu diambil di hadapan saya, tak pernah ada ulangan massal. Saya tahu pasti performa mereka dalam pelajaran ini.

Bila ada anak yang tidak lengkap nilainya, saya kejar sampai penuh sebelum ujian. Begitu pula yang nilainya belum cukup, saya tagih remedial sampai nilainya baik. Nilai saya jamin!


Untuk apa? Agar mereka menghargai usaha dan kerja keras. Agar mereka tak melakukan kebohongan hanya demi angka. Agar mereka mengetahui kemampuan mereka sendiri. Agar mereka tahu rasanya 'hasil setelah mandi keringat', dan mampu menghargai diri sendiri karena hal itu.

Tapi mereka memilih menyontek daripada menjaga hubungan baik dengan saya. Mereka memilih nilai daripada rasa percaya. Ya, saya sakit hati melihat lembar jawaban ujian, sekaligus sedih karena tak berhasil mendapatkan kepercayaan anak-anak ini.

[sigh...]

Pengawas ujiannya yang harus disalahkan? Saya tidak terlalu suka memilih jalan mudah seperti itu. Sekolah sudah terlalu penuh dengan kesadaran yang artifisial. Berlaku baik karena peraturan, bukan berasal dari dalam hati. Jadi lupakanlah soal pengawas ujian.



Bagaimana bila ujian dihapuskan saja? Saya bahkan pernah bilang, mata pelajaran yang saya ampu tidak perlu ujian. Saya punya cara sendiri mengevaluasi anak. Tapi masalahnya tidak sesederhana itu. Ini urusan dapur sekolah, dan sebaiknya hanya diketahui kalangan terbatas. Tapi intinya, kemungkinan itu akan menimbulkan masalah lain, sehingga tidak mungkin ada satu mata pelajaran yang tidak diujikan.


Atau ada yang salah dengan cara saya?

Satu-satunya jalan adalah kembali berusaha. Kembali mencari cara sampai saya dan para siswa berada pada pemahaman bersama. Ah, betapa mudah meluluskan anak, tapi tak demikian halnya dengan mendidik mereka.

GAMPANG JADI GURU?

Jadi guru itu gampang?

Kalau tanya saya sih, jelas jawabannya nggak. Kalo gampang, pasti saya menjalani profesi ini dengan mulus. Pasti ga ada metode yang ga berhasil. pasti motivasi dan prestasi anak-anak didik akan memuaskan. Pasti mereka bakal lengket dan dengar apa kata saya. Pasti harapan saya pada mereka akan tercapai.



Kenyataannya, jadi guru bener-bener ga gampang. Tapi itu kata saya. Menurut orang lain mungkin bakal berbeda. Misalnya, teman saya yang satu ini.

Pagi itu saya sudah rapi hendak berangkat ke sekolah, waktu ada telefon dari seorang teman.

"Ganggu ga, nih?"

Saya bilang nggak, karena memang sedang tidak ada jadwal ngajar. Rupanya dia minta pertimbangan saya. Mau sekolah lagi katanya. Untuk apa? Untuk jadi guru.

"Loh, emang suka ngajar?" kata saya heran.
"Wah, sekarang mah bukan waktunya mikir suka atau ga suka. Mikirnya kepepet."

Nah, itu kan jadi bukti, kalo jadi guru itu gampang buat sebagian orang. Apa susahnya berdiri di depan kelas, lalu cuap-cuap. Terus bikin soal, terus ngoreksi, terus ngasih nilai.



Kalo ga laku jadi ekonom atau akuntan, jadilah guru ekonomi-akuntansi. Ga bisa jadi scientist, ngajar IPA aja. Ga keterima kerja jadi programmer, jadi guru TIK aja. Jangan khawatir kalo punya gelar S.H. tapi ga keterima di firma hukum, karena selalu bisa kok jadi guru PKn.

Sekali lagi, jadi guru gampang! Tapi bukan kata saya.


Kembali pada teman tadi, saya coba membelokkan pikirannya pelan-pelan. Saya bilang, jadi guru itu pendidikannya lama, dan gajinya juga ga gede. Ngajar dari jam tujuh pagi sampai setengah enam sore setiap hari, dapetnya ya segitu aja. Kalo memang niatnya menambah penghasilan, kenapa ga dagang aja, misalnya. Atau buka usaha apa, gitu.

Dia biang, "Ga bakat dagang."

"Atau buka kursus bahasa aja. Kayaknya bahasa asing makin prospektif."

Dia malah jadi mikir, "Buka bimbel aja kali yah."

Waduh, kok bener-bener pragmatis nih, jadinya. Saya sendiri ga setuju sama bimbel yang dilembagakan macam sekolah kedua, makanya jadi rada-rada khawatir denger dia ngomong begitu.

"Nanti kalo aku buka (lembaga) bimbel, gabung ya, Jeng..."

Tuh kaaaan.... malahan diajak. Tapi toh masih lama, jadi saya ga janji apa-apa. Tapi kayaknya visi kami berdua rada jauh, jadi bakal susah kalopun mo kerja sama.



Saya menulis begini, bukan kepengen dibilang idealis loh ya. Saya
lama kok kerja di lembaga bimbel ketika jadi mahasiswa. Pertama ngajar tujuannya ya duit juga. Saya juga memang sarjana sastra 'bantet', alias yang ga 'menetas' jadi sastrawan, dan akhirnya jadi guru bahasa. Dan ngaku kok, emang demen banget pas lagi gajian.

Tapi lama-lama, jadi kerasa kalo jadi guru ga gampang. Kalo ga punya tujuan yang jelas, atau ga menikmati, atau sekedar kepepet karena ga ada kerjaan lain, jadi bahaya akibatnya. Yang jadi taruhan manusia loh, bukan benda mati.

Masalah dibayar mah, memang hak guru. Kewajibannya apa? Mengajar? Bukan, tapi berlaku PROFESIONAL, yakni melakukan tugas dengan berkualitas.

YA, SAYA BANGGA!

"walaupun anak sMa cm segitu.., kelakuannya sprt itu..., ibu tetep bangga??"

Begitu komentar salah seorang siswa saya untuk salah satu note saya di Facebook. Ada kesedihan yang terasa, juga rasa galau. Tapi bukankah rasa itu wajar untuk anak seusianya, yang beranjak dari usia remaja menuju masa awal dewasa?

Sebenarnya, saya jarang sekali bersentuhan langsung dengan anak-anak ini. Yang lebih banyak mengetahui masalah secara detil terutama adalah wali kelas. Wali kelas pun saya pikir tak bisa memantau kehidupan di luar sekolah. Jadi pada intinya, kami tak tahu banyak sebenarnya, apakah mereka seperti apa yang tampak, atau menyembunyikan perilaku yang negatif begitu keluar gerbang sekolah.

Lalu apa saya tetap bangga pada mereka?

Saya tentu saja pernah SMA. Dan tanpa bermaksud sombong, masa-masa SMA saya berjalan cukup mulus. Walaupun jalan kaki setiap hari, saya tidak sekali pun pernah terlambat bayaran. Saya berangkat dengan perut kenyang, dan ketika pulang, makanan hangat tersaji di meja makan.

Saya punya teman-teman yang baik, cukup dekat dengan guru, prestasi lumayan, dan suka ikut-ikutan kegiatan Osis. Keluarga saya cukup harmonis, dan pergaulan masih terjaga (biarpun udah coba2 pacaran, hahaha... culun banget deh!).


Semua lancar, sampai saya lulus tahun 1998.

Bagaimana dengan siswa-siswa saya sekarang?

Tunggakan SPP bertumpuk, bahkan ada yang belum terbayar sejak tahun lalu. Banyak yang putus asa, lalu berjatuhan mengundurkan diri karena masalah ekonomi. Prestasi akademik mereka sulit untuk dibilang cemerlang, kecuali beberapa orang saja. Kebanyakan hanya pasif di kelas maupun ekstra kurikuler. Masalah keluarga seperti broken home sudah terlalu banyak, ditambah pergaulan yang bebas.

Lebih enak mana, hidup saya atau hidup anak-anak didik saya?

Saya mensyukuri setiap langkah dalam hidup saya sebagai pengalaman yang tidak ingin saya tukar dengan milik siapapun, sebagaimana saya berpendapat bahwa pengalaman yang mereka jalani tak kalah berharga.

Sementara saya bisa lulus SMA dengan mudah, mereka terseok-seok diantara tunggakan SPP, setumpuk nilai yang mesti diremedial, surat peringatan dan penghitungan poin, pertengkaran orang tua, dan sebagainya.

Fachry bekerja di pabrik krupuk, Ega baru pulang jam 10 malam karena menjaga warnet, Nurman mengantar kue ke warung-warung setiap subuh, sedang Mutia jadi tukang ojek bagi anak SD. Banyak anak yang tak bisa hadir ke sekolah karena sama sekali tak ada uang untuk naik angkot hari itu.

Bagus adalah siswa dengan masalah emosi, dan Eko tinggal bersama sang nenek yang berjualan sayur di pasar, setelah orang tuanya bercerai dan keduanya menolak membiayai darah daging mereka itu.

Saya melihat sendiri mereka jatuh bangun, tapi mereka SAMPAI! Mereka berhasil sampai sini, di ujian nasional, di penghujung.


Bagaimana mungkin saya tidak bangga?

Saya lulus SMA, lalu lolos UMPTN. Menikmati belajar di kampus bergengsi, dengan berbagai dinamika mahasiswa jaket kuning yang menjadi angkatan pertama di era reformasi.

Anak-anak didik saya mungkin tak menikmati hal tersebut. Mereka akan segera jadi SPG, satpam, penjaga toko/warnet, atau cleaning service. Tapi saya kenal pada beberapa alumni yang masih menyisakan keinginan belajar di dada mereka, mengambil kuliah malam atau akhir pekan, atau setidaknya, mimpi itu tidak mati, walaupun akan panjang jalan untuk mewujudkannya.


Bagaimana mungkin saya tidak bangga?

Atas ketahanan mereka berhadapan dengan banyak masalah, atas keputusan mereka untuk tidak menyerah, atas usaha mereka hingga sampai di titik ini.

Maka, tentu saja. Tentu saja anak-anak SMA yang cuma segitu, yang kelakuannya seperti itu, adalah kebanggaan saya. Semuanya. Semuanya.

25 February 2012

NGERI

Belakangan ini, saya jadi agak 'ngeri' bertemu dengan cleaning service, penjaga di penitipan barang, penjaga toilet, waiter, atau sales promotion girl/boy. Rasanya tidak bisa cuek seperti dulu lagi. 'Ngeri' di sini maksudnya khawatir bertindak merendahkan, sembarangan menyuruh atau semacamnya.

Apa pasal?

Karena sekarang saya tahu bahwa mereka itu dulunya adalah siswa-siswa saya. Mereka bukan orang bodoh tak berpendidikan yang tidak berprestasi karena malas. Mereka, di suatu masa dalam hidupnya, adalah orang-orang yang pernah punya banyak mimpi.



Seperti L, yang melengos ketika bertemu saya. Dia memegang kain pel, dan seragamnya jelas menunjukkan bahwa profesinya adalah cleaning service sebuah mal. Apakah ada yang menyangka, kalau dia adalah lulusan terbaik di angkatannya? Tiga tahun dia menerima beasiswa dari yayasan karena prestasi belajar yang tidak tergeser dari puncak.

Kalau anda melihatnya, dia berpostur pendek, dengan perawakan mungil dan karakter pemalu. Walaupun prestasinya akademiknya di SMA gemilang, perusahaan akan lebih mengutamakan karyawan berpostur tinggi dan wajah ganteng untuk posisi di depan. Menyisakan orang-orang seperti L untuk mengepel lantai.

Kenyataan yang cukup meremas hati, memang.

Bagaimana pun, banyak orang cenderung menganggap pekerjaan 'kuli' adalah pekerjaan yang tidak bermartabat. Habis makan, buang saja di lantai. Nanti kan cleaning service yang membersihkan. Terima karcis tol, jangan repot-repot memasukkan karcis ke tempat sampah. Lepaskan saja di jalan, nanti juga ada tukang sapu. Habis main, biarkan saja lantai berantakan, kita kan punya pembantu.

Tentu saja, bagi penjual jasa, pelanggan adalah raja, yang harus dilayani sebaik-baiknya. Tapi harusnya, bagi pelanggan, semua manusia adalah sama, dan tak boleh memandang orang lebih rendah karena pekerjaannya yang bersifat melayani.

SUATU HARI NANTI

Suatu hari nanti, kita akan membangun sebuah sekolah untuk anak-anak dari "golongan sisa-sisa', yang ditolak oleh lingkungannya oleh berbagai alasan. Mungkin karena kenakalannya, mungkin karena kedunguannya yang luar biasa, mungkin karena kemiskinannya, mungkin karena apa saja yang distigmakan kepadanya.

Suatu hari nanti, kita akan membangun sebuah sekolah untuk anak-anak itu, sebagai upaya kita untuk membawa mereka pulang kepada kesempurnaan mereka. Kesempurnaan yang telah dihembuskan oleh Ia Yang Maha Sempurna. Di sekolah itu, semogalah mereka tumbuh dalam kegembiraan sejati seorang anak.

Jika seorang anak tumbuh ke arah yang salah, maka pasti, pasti, itu karena orang dewasa. Orang dewasa yang ada di rumahnya, dan atau orang dewasa yang ada di sekolahnya, dan atau orang dewasa yang ada di lingkungannya. Tentulah wajib bagi para orang dewasa untuk menebus kesalahannya itu.

Maka, suatu hari nanti kita akan membangun sekolah untuk anak-anak itu. Sekolah yang memungkinkan mereka untuk menjadi kegembiraan bagi semesta, kebahagiaan bagi langit dan bumi.


Saat ini, kita akan lebih dulu menyekolahkan diri kita sendiri. Supaya menjadi orang dewasa yang layak bagi mereka. Supaya menjadi guru, sahabat, dan pembimbing yang pantas bagi mereka.

Mei 2010
A. Muzi Marpaung

KAMU ANAK BAIK, KAMU TAHU? (1)

Bila ada yang bilang ku tak baik,
Jangan kau dengar....

Begitu kan, lirik lagunya BCL? Tadinya saya mendengarnya sekilas lalu saja, menikmatinya sebagai lagu cinta biasa, sampai awal tahun ajaran ini dimulai. Apa pasal? karena pada rembukan tentang pembagian ruang, salah satu guru yang meminta SMA (unit saya) menempati ruang lantai 2. Dan saya tersinggung.

Kenapa memangnya kalau SMA menempati lantai 2? Ya gapapa, karena bukan lokasi yang jadi masalah. Alasan bapak guru tersebut yang
bikin kesel, yaitu demi keamanan dan ketertiban.

Gubrak! Memangnya siswa saya itu para kriminal? >_<#

Saya cuma menanggapi, "Anak yang aktif itu biasanya pinter-pinter, Pak." Tapi ngomongnya dengan kalem, kan 'demi keamanan dan ketertiban' =_=;.



Ketika bertemu dengan anak-anak panitia MBS (Masa Bimbingan Studi) yang tak tau apa-apa, saya dengan sisa-sisa rasa mangkel di hati mengulangi lirik lagu BCL dengan sedikit perubahan, "Kalau ada yang bilang kalian bukan anak baik, jangan kalian dengar. Kalau ada yang bilang kalian ga keren, bandel, susah diatur, jangan kalian percaya."

Kenapa saya bilang gitu? Karena saya yang mengajar anak-anak ini. Saya yang tahu mereka, dan guru dari unit lain ga berhak omong sembarangan tentang siswa-siswa saya. Panitia MBS ini tentu tidak tahu menahu kenapa saya tiba-tiba bicara seperti itu, tapi yang penting 'penguatan' itu telah dilakukan. Mereka pun sepertinya paham maksud saya.

Dari Mbak Gita Lovusa, saya belajar tentang sesuatu yang bernama konsep diri.
Konsep diri menurut para ahli diartikan sebagai bagaimana diri mempersepsi fisik, sosial dan psikologi diri sendiri berdasarkan pengalaman dan interaksi diri dengan orang lain. Konsep diri seseorang dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain harapan orang tua, sikap anggota keluarga, kematangan biologis, sikap terhadap teman sebaya, efek dari media, dsb.

Ketika
anak mendapat konsep diri negatif di luar sekolah, bukankah
kita para guru, yang harus memperbaiki hal tersebut? Sudah bukan jamannya lagi mencap anak dengan sebutan-sebutan semacam bodoh, ga punya otak, o'on, bandel, susah diatur, dan sejenisnya.



Tentu seluruh dunia sudah membaca buku Totto-chan, bukan? Betapa Sosaku Kobayashi, sang kepala sekolah di Tomoe Gakuen, rajin sekali berkata pada muridnya, "Kamu anak baik, kamu tahu? Kamu benar-benar anak baik." Padahal Tomoe Gakuen berdiri di masa perang dunia kedua. Lha kalau sekarang masih ada guru yang mencap buruk anak-anak didik mereka, kemenong aje bo?

Eh, tapi kan siswanya ga tau kalo kita menganggap mereka bodoh dan nakal. Yang tau guru-guru aja, pas ngegosip sambil makan bakwan waktu jam istirahat. Tapi lagi-lagi ga bisa begitu. Anak-anak ini menangkap 'pandangan' kita lebih cepat daripada menangkap apapun yang kita ajarkan. Mereka tau loh, jika guru menganggap mereka o'on, karena terbaca dari gesture dan nada suara gurunya.

Tapi hal yang berkaitan dengan konsep diri bukan hanya kejadian di atas saja. Satu pengalaman lain saya dapatkan ketika bertemu lagi
dengan siswa untuk yang pertama kalinya sejak mereka naik ke kelas XII. tapi ceritanya bersambung ke tulisan berikutnya yah.

KAMU ANAK BAIK, KAMU TAHU? (2)

Hari itu saya melangkah ke kelas biru (warna kelas di sekolah kami berbeda-beda), dan bertemu untuk pertama kalinya dengan anak kelas XII. Ya, mereka baru 3 hari jadi anak kelas XII. Tingkatan yang penting menurut saya, karena tahun ini akan menjadi tahun terakhir bagi mereka berpredikat 'siswa'.

Dalam pertemuan pertama ini, belum ada materi yang kami pelajari. Saya hanya meminta mereka mengeluarkan selembar kertas dan alat tulis. Kami akan membuat kapsul waktu.

Kapsul waktu biasanya berupa kotak berisi benda-benda kenangan, lalu ditanam untuk beberapa tahun. Tapi kami membuat kapsul waktu yang lebih sederhana, hanya tulisan di awal tahun ajaran. Mereka diberi mereka 3 pertanyaan panduan, tentang apa yang terasa berubah tahun ini, bagaimana kira-kira tahun ini akan berlangsung, dan apa harapan terbesar di tahun ini. Ya memang, sebenarnya kami tengah berefleksi, lalu membuat pernyataan misi.

"Bila kalian mengizinkan saya membaca tulisan kalian, lipat kertas sekali. Bila tidak, lipat dua kali," kata saya.

Kertas-kertas dikumpulkan, dan terlihat beberapa yang dilipat dua kali. Saya menghela napas diam-diam. Ini tahun ketiga saya mengajar mereka, dan masih banyak anak yang memutuskan untuk belum bisa percaya pada saya. Tapi pilihan itu tetap harus dihargai, bukan?

Saya membaca satu persatu kertas yang terlipat sekali sambil tersenyum-senyum. Anak-anak ini berkembang, baik secara akademis maupun psikologis. Saya terus membaca, hingga sampai pada tulisan milik Dwi. Dwi adalah anak yang beberapa kali dikeluhkan guru-guru karena lambat menyerap materi. Kedisiplinannya pun kurang memuaskan walaupun tidak termasuk kategori berat.

Tapi kertas milik Dwi membuat saya tertegun. Dia menulis, "Saya ingin buktikan pada orang tua, teman dan guru bahwa saya bisa jadi anak yang baik."

Bisa jadi anak baik.

Saya langsung teringat Sosaku Kobayashi, kepala sekolah dalam buku Totto-chan. Katanya, "Ada orang yang mungkin berpendapat kau bukan anak baik dalam hal-hal tertentu, tapi watakmu yang sesungguhnya tidaklah buruk. Banyak watak baik dalam dirimu dan aku tahu itu" (hlm. 189).


Saya memanggi Dwi ke depan. Menunjuk tulisannya sambil meniru kata-kata Sosaku Kobayashi, "Tapi Dwi, menurut saya, kamu memang anak yang baik, kok. Kamu benar-benar anak yang baik.

Dwi kembali ke tempat duduknya, menelungkupkan kepala di atas meja. Teman-temannya ribut bertanya, "Kenapa sih? Diapain sama Bu Irma?" Dwi cuma menggeleng-geleng saja dan kembali menunduk dalam.

Saya menghela napas lagi. Saya memang sungguh-sungguh percaya bahwa Dwi, dan semua temannya, adalah anak yang baik. Bukan karena buku-buku parenting dan pendidikan mengatakan begitu, tapi karena agama saya yang mengajarkan demikian. Tiap manusia dilahirkan suci. Lalu kenapa anak jadi nakal? Kita orang tua, baik orang tua biologis maupun sosiologis, yang membuatnya demikian. Maka ketika anak bermasalah, hukumlah diri kita sendiri terlebih dulu.

Sebagai penutup hari itu, saya memuji tulisan mereka, yang juga menandakan keberhasilan guru Bahasa Indonesia di sekolah kami. Tiap kertas terisi penuh, bahkan ada yang menulis hingga ke halaman belakang. Inilah maksud saya menulis 'mereka berkembang secara akademis' di atas. Sedangkan secara psikologis, adalah karena saya menemukan kata yang sama di tulisan mereka, yaitu lulus ujian, bekerja, dan kuliah. Masa depan, walaupun masih samar, telah masuk pada deretan hal yang mereka anggap paling penting. Dan tentu saja, hal-hal membanggakan ini saya sampaikan pada mereka.

Kelas diakhiri dengan menutup amplop besar yang kami namai 'Kapsul Waktu Kelas XII'. Kapsul ini akan dibuka dan diperbarui lagi semester depan, sebelum pelaksanaan ujian yang menentukan nasib mereka selanjutnya.

HANYA GAGAL BILA BERHENTI

Tahun-tahun di mana saya bekerja di sekolah adalah salah satu masa terbaik dalam hidup saya. Memang lima tahun ini tak selalu mulus jalannya. Saya pernah merasa putus asa, kehilangan kendali, hampir menyerah, dan sudah berkali-kali menyatakan keinginan resign (tapi ga jadi-jadi ^^;).

Selama itu pula saya punya kebiasaan pulang ke rumah dan menjadikan suami tempat sampah yang menampung segala macam keluhan, karena saya tidak tahu bagaimana cara merubah keadaan dan merasa bahwa bersumpah serapah adalah satu-satunya hal yang saya mampu lakukan.


Tapi di atas semuanya, tetap saja, saat itulah hal-hal terbaik terjadi pada saya.

Kenapa demikian? Karena rasanya diri saya belum pernah merasa teroptimalkan seperti sekarang. Nalar, kreatifitas, kepemimpinan, sensitifitas, persepsi, standar moral, keterampilan komunikasi, kemampuan menempatkan diri, semua terasa diaktifkan. Bahkan selera mode saya sepertinya juga ikut-ikutan bekerja ^_^;.

Mengajar membuat saya membaca, berpikir ulang, mencari cara, dan menulis. Rekan tim datang dan pergi silih berganti, tapi saya selalu mendapatkan yang terbaik (versi saya). Saya jadi belajar banyaaaaak sekali. Pada kenyataannya, anak-anak didik dan rekan sejawat memberi saya manfaat jauh lebih banyak dibanding yang saya beri pada mereka.


Jadi saya memutuskan untuk berhenti jadi orang cengeng.

Seperti yang ditulis oleh Rhenald Kasali: "Seratus kali gagal, seratus sepuluh kali saya coba berdiri lagi. Hanya kalau saya berhentilah maka saya akan gagal."

MENGKHIANATI KURIKULUM

Ada satu pertanyaan penting yang pernah merecoki pikiran saya beberapa tahun yang lalu, yaitu: Kenapa ada manusia yang dilahirkan sebagai orang bodoh?

Mungkin saja ada orang yang diuji dengan kemiskinan atau cacat, tapi menjadi bodoh bukanlah ujian, melainkan kutukan. Bodoh membuat seseorang tidak bisa menghadapi hidup dan tak berdaya. Bukankah itu artinya Allah tak sayang pada manusia yang ditakdirkannya bodoh?

Begitu saya membaca tentang Multiple Intelligences, saya tak lagi bertanya tentang keadilan Allah pada manusia bodoh. Saya tak peduli bahwa ada juga ahli yang mempertanyakan validitas teori ini, karena saya menemukan jawaban atas pertanyaan saya. Allah Mahaadil, karena semua orang diciptakanNya cerdas, dalam tipe kecerdasan yang berbeda.

Siang itu saya (dan teman-teman guru) kembali mengkhianati kurikulum. Bukannya kami mengajar pelajaran yang kami ampu, malah kami duduk melingkar bersama 15an anak untuk tiap seorang guru. Kami menamakannya kelas PD, Pengembangan Diri.

Siang itu adalah pertemuan pertama di awal tahun ajaran, maka materinya adalah perkenalan. Caranya seperti ini:
"Nama saya Irma. Saya suka belanja baju. Saya tidak suka bernyanyi."

Saya duduk bersama sebagian kelas 12 saat itu, yang artinya mereka sudah bersama-sama selama dua tahun lebih. Namun demikian, rupanya duduk bersama selama 6 jam sehari, 6 hari seminggu, tak lantas membuat mereka bisa saling kenal lebih dalam.

Adalah Zaid (bukan nama sebenarnya) yang mula-mula mencengangkan saya. Zaid adalah siswa yang, yah, lemah dalam bidang akademik. Bukan hanya satu atau dua mata pelajaran, tapi hampir semuanya. Apakah dia bodoh? Tidak, begitu saya tau bahwa dia suka memodifikasi sepeda motor. Tentu itu adalah kecerdasan tersendiri, bukan?

Rido lain lagi. Namanya pernah masuk pembahasan rapat evaluasi guru karena dianggap abai pada pelajaran dan berlaku tidak sopan dengan mencoret-coret kertas ujian. Dia bilang, "Saya suka memelihara burung merpati." Nah, itu juga kecerdasan tersendiri, bukan?

Ada Eri, siswa pemalu yang mengaku hobi nyanyi, dan ada Mia, siswi yang paling tidak suka disuruh makan teratur. Ada Rizal yang suka Persija ^_^ dan ada Is yang suka nonton film kartun.

Saya menanggapi, "Kesukaan kalian bisa jadi sumber mata pencarian di masa depan, loh. Misalnya, Zaid bisa buka bengkel, dan Rizal bisa buka usaha konveksi dan sablon untuk kaos Persija. Rido juga bisa jadi peternak burung." Robi menjawab, "Itu sudah pasti, Bu." Jawaban yang membuat saya amat bahagia.


Saya merasa, kelas PD hari itu luar biasa. Pertama, anda tahu bahwa bagi banyak guru, anak-anak ini bukan manusia. Mereka sekadar nama di deretan absen, yang nantinya diberi angka sesuai dengan kertas yang ia isi ketika ujian. Tak lebih. Namun saat itu, saya bisa mengenal mereka sebagai manusia, dengan emosi, pemikiran, dan cita-cita.

Kedua, berkaitan dengan MI, bahwa banyak kecerdasan anak-anak ini yang tak tergali, atau mungkin malah tumpul, akibat perlakuan salah yang diberikan sekolah. Memang ada pelajaran kesenian, biologi, penjas, yang harusnya bisa mengakomodasi tipe kecerdasan anak-anak seperti Zaid dan Rido. Sayangnya mata pelajaran sekarang amat berorientasi nilai dan wajib tunduk pada kurikulum (demi ujian nasional), hingga abai pada minat anak.

Ketiga, anak yang bersekolah bukan berarti dia akan banyak berteman. Oke, mereka kenal banyak orang, tapi tidak selalu bisa bergaul dengan luas dan memiliki banyak sahabat. Jadi, kemungkinan pergaulannya sama seperti anak homeschooling, yakni tergantung kepribadian anak dan lingkungan yang kondusif.

Begitulah, sedikit mengkhianati kurikulum, sama sekali tidak rugi ternyata....

BELAJAR TATA SURYA

Waktu sekolah dulu, di pelajaran apa ya saya belajar tata surya? Geografikah? Saya lupa. Tapi yang saya ingat adalah bahwa saya harus menghapal nama-nama planet dan teori penciptaan alam. Kenapa? Mungkin karena keluar di ujian: "Planet apakah yang merupakan planet dalam dalam tata surya kita?"

Bukan ingin mengingkari peran bapak ibu guru terhormat tercinta yang telah mengajarkan banyak hal, karena ini mungkin bukan salah mereka juga. Namun ijinkan sekarang saya berkata, "Bukan ini hasil yang saya inginkan setelah belajar tentang alam raya."



S
aya ingin dulu diajak 'terbang' dan melihat galaksi Bima Sakti, di mana tata surya kita hanyalah titik kecil. Saya ingin ditunjukkan bahwa ada galaksi lain, dengan gugusan bintang dan planet, entah berapa ratus ribu juta milyar jumlahnya.

Dan semua itu Ada yang mengatur, tak pernah keluar dari orbit, dan tidak saling bertabrakan.


Jika tata surya bahkan kita lebih kecil dari debu di jagad raya ini, maka manusia yang bisa sombong hanyah orang gila.

Mungkin satu-satunya tujuan belajar adalah memang untuk membuat seseorang lebih bertakwa. Tak ada yang lain.

"Orang yang bermanfaat ilmunya tidak peduli pada kedudukan. Hati mereka membenci pujian dari manusia, tak pernah merasa suci, dan tak pernah menyombongkan diri dan ilmu yang dimiliki. Jika ilmunya bertambah, bertambah pula rasa tawdhu', ketaatan, rasa takut, dan ketundukannya pada Allah." (dikutip dari sini)

YA SUDAHLAH

Ketika kemarin ngobrol sedikit dengan salah seorang alumni di Facebook, saya mendapat balasan comment seperti ini: "kangen crita kalo upacara bu."

Yang dimaksudkannya adalah isi amanat yang saya sampaikan bila jadi pembina upacara. Sampai tahun ke-6 ini, baru beberapa kali saya jadi pembina upacara. Saya memang hampir selalu mengisi amanat dengan kisah dan cerita, dan sedapat mungkin menghindari nasihat terbuka. Cara ini rada aneh sedikit, karena kelihatannya tidak sesuai dengan gaya upacara yang resmi dan formal. Tapi belum ada yang ngomelin saya, jadi ya terus aja begitu ^_~v.

KLembali lagi ke alumni tersebut, dibilang begitu, saya jadi terharu loh. Beneran. Kenapa? Karena kalau berdiri di mimbar pembina upacara di atas, akan telihat sekali kondisi peserta upacara. Ada yang memandang ke sana ke mari, ada yang ngobrol, ada juga yang nunduk (smsan?). Ada yang memandang saya juga sih, tapi ga tau apa memperhatikan atau tidak.

Ketika sampai pada amanat pembina, rasa nelangsanya tambah terasa. Kita lagi ngomong dengan semangat, berusaha tampil sebaik-baiknya, padahal berasa mati gaya ngeliat peserta di depan yang pada asyik ngobrol.

Hal seperti ini juga terasa waktu ngajar di kelas, terutama di kelas-kelas gendut (antara 40-46 anak). Terjadi juga waktu kultum di kegiatan rohis, atau pembinaan Osis. Rasanya ya gitu, menyedihkan.

Ya saya kan ga bisa maksa juga, misalnya dengan bilang, "Diaaaaam! Dengarkan saya!!! Yang ngobrol lari keliling lapangan!", karena kondisi yang mempengaruhinya banyak. Ruang yang terbuka saat upacara, suara yang ga terdengar, kondisi si pendengar, keterampilan bicara saya, dan sebagainya.

Nah, ketika alumni di atas bilang kangen cerita saya pas upacara, saya pikir, oh, masih ada kok yang dengerin. Yang pada dengerin ini mungkin ga banyak kali yah, dan ga gitu kelihatan. Tapi yang penting kan, ada.

Waktu saya ceritakan hal ini di kelas, salah satu murid bilang, "Saya selalu dengerin kok, Bu."

Huhuhuhu.... Terima kasih.

Nah kalau gitu, saya akan berusaha menyampaikan materi dengan baik. Kenapa? Karena saya berkewajiban menyampaikan kebaikan dengan cara yang ihsan, tentu saja. Alasan lainnya adalah karena ada orang-orang ini, yang mau mendengar saya.

Kalau ada yang ngobrol pas saya bicara, bila sulit atau tidak mungkin ditangani saat itu, ya sudahlah... (gaya bondan ^_^). Ga bisa maksa juga, kan. Toh mereka selalu bisa mendapat ilmu dari saluran lain. Amiiiin.....

MENEMUKAN ZEIN

Saya tahu, saya harus percaya kalau semua anak itu terlahir cerdas. Saya seorang guru, dan kepercayaan akan hal itu adalah modal awal bagi setiap guru yang akan mengajar. Tapi kadang, sulit sekali untuk merasa percaya, setelah berbagai cara telah dicoba di kelas. Pakai metode ini, pakai cara itu, tapi materinya tidak bisa terserap juga. Ya, mungkin saya tidak cukup sabar. Apa daya, kurikulum mengejar.

Pagi ini kami berkumpul untuk rapat evaluasi tengah semester. Seperti biasa, semua guru melaporkan perkembangan mata pelajaran yang diampunya. Maka muncullah nama-nama siswa yang 'sulit ditangani', baik secara kedisiplinan maupun secara akademik.

Dalam situasi ini, memang sulit untuk tidak berpendapat bahwa ada anak yang memang terlahir bodoh. Zein, misalnya. Nilainya di bidang eksakta hancur-hancuran, di bidang sosial jeblok, di bidang bahasa sama saja. Sulit sekali menghapal, tulisannya sangat jelek, dan tidak paham bila guru menerangkan. Jadi kalau bukan bodoh, anak ini disebut apa?

Tampaknya memang sulit menemukan gaya belajar anak bila masih mengikuti pakem pembelajaran yang konvensional. Saya bersyukur, sekolah kami punya tiga kelas yang 'mengkhianati' kurikulum, yaitu kelas seni, kelas pengembangan diri, dan kelas kerohanian. Ada 7 jam pelajaran normal yang dikorbankan untuk ketiga kelas ini. Nah, kalau 'pengkhianatan' ini ketahuan pengawas sekolah, bisa gaswat!

Kebetulan saya menjadi mentor Zein di kelas pengembangan diri. Di kelas 'ngobrol-ngobrol lesehan' ini baru saya tahu bahwa Zein hobi memodifikasi sepeda motor. Wah, bukankah ini memerlukan keterampilan teknis tertentu? Titik terang tentang gaya belajar Zein mulai bisa ditemukan, ketika kami mulai mengkhianati kurikulum.

Ketika rapat tadi, titik terang itu makin jelas. Pelatih kelas marawis (semua alatnya perkusi) menyerahkan nilai, dan tebak siapa yang tertinggi nilainya? Ya, Zein. Ah, saya jadi terharu. Ternyata dia punya kecenderungan pada kecerdasan kinestetik (badan) dan ritmik (musikal) yang tidak diketahui orang, bahkan juga tidak diketahui oleh dirinya sendiri.

Aneh juga. Zein sudah pernah mengikuti tes multiple intelligences sederhana sebelumnya, tapi hasilnya tidak terlalu jelas. Saya berpikir, dan menduga bahwa ia lemah dalam bidang verbal (bahasa). Hal itu membuatnya sulit mempelajari percakapan, menulis dengan baik, termasuk memahami instruksi dalam tes MI.

Coba tebak, apa yang saya pikirkan soal kondisi ini? Ya, ya ya. Saya tahu tak semua anak bisa jadi homeschooler karena berbagai sebab. Tidak bisa saya bilang, "Kita pulangkan saja Zein ke orang tuanya. Homeschooling!" Tidak semudah itu. Tetapi setiap bertemu dengan masalah seperti ini, kepercayaan saya pada sistem sekolah konvensional makin rendah saja.

Di sekolah konvensional, dengan kurikulum kemendiknas, Zein akan selalu jadi pecundang. Padahal kalau Zein boleh belajar dengan gayanya, dengan musik, dengan lagi, dengan bergerak, dengan peralatan, mungkin tak akan ada yang bilang dia bodoh. Tapi di sekolah biasa seperti tempat saya, hal itu cukup sulit dilakukan.


Memang, tak boleh hanya menyalahkan, menuduh, menggerutu, marah-marah, pada institusi bernama sekolah. Karena sekali lagi, tak semua anak punya kesempatan homeschooling. Yang harus dipikirkan adalah apa yang bisa saya lakukan dalam kondisi ini untuk membuat kondisi anak-anak ini bisa lebih nyaman. Maksud saya, sedikit lebih nyaman. Sedikit saja, kecuali Paman Gober mewasiatkan hartanya pada saya untuk bisa membangun sekolah macam Summerhill.