29 January 2012

KOWAWA! ^o^

Ga ada hubungannya dengan apa yang lagi ngetrend di twitter atau kaskus, karena saya kepingin cerita tentang pertemuan dengan salah satu alumni yang pernah saya ajar.

Tadi siang anak-anak minta main di playground CBD Ciledug. kami berangkat tanpa suami karena sedang dinas ke luar kota. Pulangnya lapar, tapi saya malas masak, seperti biasa ^_^;. Jadi kami mapir ke restoran siap saji A&W.

Salah seorang waiter menyapa, yang ternyata adalah alumni yang pernah saya ajar. Tentu saja saya hapal padanya, syukurlah saya mengajar di sekolah kecil. Jadi semua alumni saya kenal, insya Allah. Kami ngobrol sebentar, eh pulangnya dibekeli waffle dan es krim. Alhamdulillah.... Tapi saya rada sungkan nih makan di sini lagi, khawatir dibekelin, hihihihi...

Lulusan sekolah kami memang hanya 3-4 orang yang melanjutkan kuliah. Yang lain bekerja, dan paling banyak menjadi SPG/waiter. Yah, meski ada juga yang jadi cabin crew, tapi kan sebenernya waiter juga, cuma di airlines ^_^.

Tapi saya bangga pada mereka. Harapan saya pada mereka bukanlah kuliah, tapi mandiri. Kenapa mandiri yang paling awal? Karena saya tau sekali kondisi ekonomi keluarga mereka. Jadi kalau ada yang dapat pekerjaan sebagai kuli cuci-setrika atau office boy, saya sarankan untuk diambil.

Setelah itu barulah mengembangkan diri. Ya siapa sih yang mau jadi pesuruh selamanya. Cara mengembangkan diri ini banyak, kuliah, kursus, atau otodidak, yang penting tak berhenti meningkatkan kualitas diri, a.k.a belajar.

Tapi memang harapan ini meninggalkan rasa sedih dan penyesalan di hati. Pasalnya, saya merasa anak-anak ini tak cukup dibekali ketika di sekolah. Dijejali pelajaran segitu banyaknya, tapi hampir tidak mendapat bekal untuk mandiri dan tidak diarahkan jadi pecinta belajar.

Ketika saya ceritakan pertemuan ini dengan beberapa teman, mereka mendokan, "Semoga jadi manager."

Saya mengaminkan sepenuh hati, sambil merasa cemas, apakah dia sudah punya kemampuan mengembangkan diri hingga level manager. Ah, mudah-mudahan saja.

Yang pasti saya sendiri ikut dengan beberapa teman lain yang ikut menyemangati, "Kowawaaaa!!!" (^o^)/

25 January 2012

GOOD TEACHING

GOOD TEACHING: THE TOP TEN REQUIREMENTS
By Richard Leblanc, York University, Ontario
This article appeared in The Teaching Professor after Professor Leblanc won a Seymous Schulich Award for Teaching Excellence including a $10,000 cash award. Reprinted here with permission of Professor Leblanc, October 8, 1998.

One. Good teaching is as much about passion as it is about reason. It's about not only motivating students to learn, but teaching them how to learn, and doing so in a manner that is relevant, meaningful, and memorable. It's about caring for your craft, having a passion for it, and conveying that passion to everyone, most importantly to your students.

Two. Good teaching is about substance and treating students as consumers of knowledge. It's about doing your best to keep on top of your field, reading sources, inside and outside of your areas of expertise, and being at the leading edge as often as possible. But knowledge is not confined to scholarly journals. Good teaching is also about bridging the gap between theory and practice. It's about leaving the ivory tower and immersing oneself in the field, talking to, consulting with, and assisting practitioners, and liaisoning with their communities.

Three. Good teaching is about listening, questioning, being responsive, and remembering that each student and class is different. It's about eliciting responses and developing the oral communication skills of the quiet students. It's about pushing students to excel; at the same time, it's about being human, respecting others, and being professional at all times.

Four. Good teaching is about not always having a fixed agenda and being rigid, but being flexible, fluid, experimenting, and having the confidence to react and adjust to changing circumstances. It's about getting only 10 percent of what you wanted to do in a class done and still feeling good. It's about deviating from the course syllabus or lecture schedule easily when there is more and better learning elsewhere. Good teaching is about the creative balance between being an authoritarian dictator on the one hand and a pushover on the other.

Five. Good teaching is also about style. Should good teaching be entertaining? You bet! Does this mean that it lacks in substance? Not a chance! Effective teaching is not about being locked with both hands glued to a podium or having your eyes fixated on a slide projector while you drone on. Good teachers work the room and every student in it. They realize that they are the conductors and the class is the orchestra. All students play different instruments and at varying proficiencies.

Six. This is very important -- good teaching is about humor. It's about being self-deprecating and not taking yourself too seriously. It's often about making innocuous jokes, mostly at your own expense, so that the ice breaks and students learn in a more relaxed atmosphere where you, like them, are human with your own share of faults and shortcomings.

Seven. Good teaching is about caring, nurturing, and developing minds and talents. It's about devoting time, often invisible, to every student. It's also about the thankless hours of grading, designing or redesigning courses, and preparing materials to still further enhance instruction.

Eight. Good teaching is supported by strong and visionary leadership, and very tangible institutional support -- resources, personnel, and funds. Good teaching is continually reinforced by an overarching vision that transcends the entire organization -- from full professors to part-time instructors -- and is reflected in what is said, but more importantly by what is done.

Nine. Good teaching is about mentoring between senior and junior faculty, teamwork, and being recognized and promoted by one's peers. Effective teaching should also be rewarded, and poor teaching needs to be remediated through training and development programs.

Ten. At the end of the day, good teaching is about having fun, experiencing pleasure and intrinsic rewards ... like locking eyes with a student in the back row and seeing the synapses and neurons connecting, thoughts being formed, the person becoming better, and a smile cracking across a face as learning all of a sudden happens. Good teachers practice their craft not for the money or because they have to, but because they truly enjoy it and because they want to. Good teachers couldn't imagine doing anything else.


http://www2.honolulu.hawaii.edu/facdev/guidebk/teachtip/topten.htm

10 January 2012

JANGAN MATRE!

Sekarang ini, sekolah mahal mah di mana-mana, ga negeri ga swasta. Kenapa mahal? Hayooooo, kenapa coba?

Saya setuju kalau biaya sekolah mahal karena kita harus mengurangi jumlah anak dalam satu kelas. Saya setuju jika sekolah mahal karena harus membayar tenaga lebih banyak guru, atau menaikkan gaji guru agar lebih fokus mengajar. Saya setuju kalau biaya mahal jika kualitas pendidikan memang jempolan, karena untuk itu pasti perlu biaya besar..

Tapi apakah yang disebut jempolan itu?

Apakah kalau ada in focus dan sound system di setiap ruangan berarti kualitasnya jempolan? Apakah kalau fieldtrip ke luar negeri berarti kualitasnya jempolan? Apakah karena ruang ber-AC, ada CCTV, anak pakai laptop, terus artinya jempolan? Bahkan, jikapun perpustakaannya digital, koleksi bukunya ratusan ribu, ada pohon Baobab boleh impor dari Afrika (kayaknya pernah denger kasusnya di manaaaaa gitu ^_~v), apa kualitasnya jadi jempolan?

Karena kualitas sekolah dilihat dari bagaimanan PROSES PEMBELAJARAN, bukan fasilitas yang tersedia.

Tempo hari saya mewakili ibu mengambilkan rapor adik yang sekarang kelas 1 SMP. Di tembok ada tempelan-tempelan tugas siswa, dibuat dari karton berwarna. Isinya ringkasan pelajaran yang dibuat kelompok.


Sebelumnya saya mau istighfar dulu, karena bukan maksud saya untuk tidak menghargai usaha guru yang memberikan tugas ini. Mudah-mudahan ini bisa jadi bahan diskusi kita saja, karena segala hal tentu perlu evaluasi.

Begini maksud saya. Karton berwarna yang ditempel di dinding itu adalah fasilitasnya. Tapi mari kita cermati proses pembelajarannya. Ringkasan ditulis dengan huruf kecil-kecil yang hampir tidak terbaca, hingga penempatannya di dinding kelas sama sekali tidak berpengaruh pada pembelajaran. Perhatikan jjuga bagaimana cara informasi tersebut dituliskan, amat bookish dan tidak melatih keterampilan berpikir anak. Meski tentu saja kita akui, bahwa mungkin ada unsur kerja sama yang hadir di sini.

Ketika datang ke sebuah SMAN di Tangerang, saya dibuat terpesona oleh layar lebar nan tipis sebuah LCD TV yang terpampang di depan ruang guru. Kenapa terpesona? Karena fungsinya hanya menampilkan jadwal pelajaran tiap kelas bergantian. Sayang sekali, IMHO, karena kalau hanya menampilkan jadwal, pakai mading juga bisa.

LCD TV itu berapa ya, harganya? Kalau dijual terus dijadikan biaya pelatihan guru, mungkin akan lebih nyata hasilnya dengan kualitas pembelajaran. Ah, tapi mungkin saja TV itu bantuan pemerintah yah, jadi ga bisa dijual ^_^;.

Jadi begitu kira-kira contoh kecilnya. Meskipun fasilitas sekolah lengkap dan mewah, ada kalanya hal itu tidak memiliki arti yang signifikan bagi pendidikan anak-anak kita. Karena bagaimana fasilitas itu digunakanlah yang akan menentukan mutu pendidikan yang ditawarkan sekolah.

Apalagi, apalagi nih ya.... Orang tua siswalah yang harus MEMBAYAR segala fasilitas yang belum tentu signifikan itu!

Seorang ibu pernah bercita-cita agar anaknya masuk SMPN percontohan di wilayah Jakarta Selatan. Sekolah ini sistemnya berbasis internet. Nilai dipublish lewat internet, orang tua bisa melihat tunggakan spp atau kegiatan anak lewat internet, tugas disubmit lewat internet, ada hotspot di sekolah, dll.

Ketika itu saya berpikir, mudah-mudahan si ibu juga melihat bagaimana cara guru di sekolah itu memanfaatkan internet itu untuk pembelajaran, dan bukan sekedar 'kerennya doang'.

Banyak sekolah sekarang sudah menyediakan peralatan multimedia di kelas. Apakah kualitas pembelajaran jadi meningkat? Di berbagai forum guru banyak ditemukan keluhan bahwa guru sekarang mengajar dengan power point, tapi sebenernya di kelas cuma mengklik tetikus membacakan isi slide. Selebihnya sama saja: kerjakan soal, koreksi bersama, sudah.

Yang parah, kalo siswanya berani nyombong kalo sekolahnya keren karena tiap kelas ada AC dan in focus.

Bagaimana dengan meningkatkan kemampuan menganalisis, memecahkan masalah, mencari solusi, menemukan hubungan, mengkritiisi, berpendapat, kolaborasi, atau paling tidak, BERGEMBIRA ketika belajar?

Jadi, mari jangan matre. Materialistis, alias gandrung pada benda. Baik guru, siswa, orang tua, semua JANGAN MATRE!

08 January 2012

CERITA TIGA SISWA SAYA

Ini cerita tentang tiga mantan siswa saya.

Yang pertama adalah siswa yang pernah saya ceritakan di sini. Waktu sekolah, semua menyerah menanganinya, meski akhirnya dia ikut UN dan lulus. Yang kedua siswa perempuan, lemah dalam semua mata pelajaran. Yang ketiga siswa tukang rusuh, poin pelanggarannya mengular di buku laporan. Tapi seperti yang pertama, dua siswa yang belakangan ini juga lulus UN.

(by the way, lulus UN sekarang ini sama sekali TIDAK membuktikan apa-apa, percayalah!)

Kenapa kemudian saya ceritakan di sini? Karena status Facebook mereka.

Yang pertama dulu pernah membuat saya yakin akan kekurangannya dalam sosialisasi. Tapi status Facebook yang dia pasang sekarang menyalahi pendapat saya. Anak ini kerap menulis dengan nada gembira tentang hang out bersama teman-teman.

Status lainnya membuat saya mengira dan bertanya-tanya, apakah benar dia bergabung dalam sebuah tim yang mengikuti lomba resmi antar gamers online? Kalau ya, berarti dia sebenarnya tak memiliki masalah dengan sosialisasi. Hanya saja, tidak menemukan 'klik' ketika berteman di sekolah.

Yang kedua adalah siswa perempuan saya. Bertahun-tahun ia mengalami masalah dengan kepercayaan diri, mungkin berhubungan dengan berat badannya. Dulu ia benar-benar lemah dalam semua mata pelajaran. Sekarang dia menulis status dalam bahasa Korea.

Saya jadi teringat film mini seri Friends, yang diproduksi bersama antara Jepang dan Korea, menyambut Piala Dunia 2002 yang diselenggarakan di Jepang-Korea.

Ceritanya tentang Tomoko, seorang gadis Jepang, SPG di sebuah dept. store berkunjung ke Hongkong dan bertemu dengan pemuda Korea, Ji Hoon, seorang pembuat film indie. Tomoko kemudian belajar bahasa Korea, agar dapat membalas e-mail Ji Hoon. Belakangan hubungan mereka tak berjalan lancar, namun ketika ditanya apa akan berhenti belajar bahasa Korea, dia menggeleng. "Soalnya aku SUKA bahasa Korea. Dulu waktu sekolah ga pernah merasa SENANG BELAJAR seperti ini."

Akhirnya Tomoko yang hanya lulus SMA ini mengambil sertifikasi bahasa Korea, melamar di biro travel, lalu bekerja di luar negeri. Maksudnya apa? Saya ingin mengatakan bahwa apapun motivasi awalnya, tapi menemukan kesenangan belajar karena kita memiliki minat pada sesuatu adalah hal yang sangat baik.

Sekarang siswa yang ketiga. Saya menemukan ia mengunggah hasil lukisannya di Facebook. Di atas kanvas dengan cat air. Judulnya, "Relaaax...."

LUKISAN?

O Tuhan, saya menjadi gurunya selama 3 tahun, dan hanya mengenalnya sebagai trouble maker, sama sekali saya tidak tahu bahwa ia memiliki minat pada lukisan. Sekarang saya amat bahagia tiap kali dia mengunggah fotonya di tempat kerja. Ia terlihat bahagia, dengan gaya pakaian khas pekerja kreatif di dunia desain, topi gatsby kotak-kotak dan rompi jeans.

Jadi, saya merasa bersalah. Anak-anak ini diberi sesuatu yang bukan minat mereka, seringkali dalam kondisi yang tidak nyaman, lalu mereka dites dalam hal yang tidak mereka sukai, dan kita menghakimi mereka lewat hasil itu.

Tapi bagaimanapun, saya guru sekolah formal. Ada kurikulum yang mesti diikuti. Bagaimana mungkin sekolah memfasilitasi minat anak pada game online, atau belajar (hanya) bahasa Korea (yang mana bukan bahasa asing pilihan resmi dalam kurikulum Indonesia), atau melukis?

Ah, bagaimana ini sebaiknya?