17 November 2011

SEKOLAH ITU BAIK, KALAU....

Sekolah itu baik, ...

... kalau jadwal kegiatan hariannya tidak kaku (45 menit untuk ini, 45 menit untuk itu, dst), tapi tergantung dengan apa yang siswa lakukan. Jika satu kegiatan membutuhkan waktu 20 menit saja, mengapa harus diperpanjang? Jika kegiatan lain membutuhkan waktu satu jam dan 20 menit, mengapa harus dihentikan sebelum selesai?

Sekolah itu baik, ...

... kalau
siswa tidak hanya boleh menggunakan waktunya untuk pelajaran yang telah ditentukan, seolah-olah mereka menjalani hukuman penjara. Di sebuah sekolah yang buruk, ada kecenderungan siswa 'mengambil' pelajaran, seperti pelajaran Bahasa Inggris 6, pelajaran IPS kelas 8 dan pelajaran Sains kelas 7. Sekolah yang baik lebih peduli dengan pencapaian kompetensi. Jadi, di sekolah yang baik, pertanyaannya bukannya, "Kamu sudah ambil mata pelajaran ....," Tetapi, "Apa kamu sudah belajar tentang ...."

Sekolah itu baik, ...

... kalau
kegiatannya melibatkan banyak siswa dari beragam latar belakang dan kemampuan. Faktanya, tidak ada bukti bahwa anak-anak 'pintar' akan belajar lebih sedikit ketika mereka digabung dengan anak-anak 'lambat', dibandingkan jika mereka digabung dengan anak-anak 'pintar' lainnya. Bahkan, ada bukti yang menyatakan bahwa ketika anak-anak diberi label 'lambat', mereka cenderung tumbuh dengan kepercayaan diri yang buruk, yang kadang tidak bisa disembuhkan.

Sekolah itu baik, ...

... kalau
sudah meninggalkan hafalan dan mulai menggunakan metode bertanya, pemecahan masalah, dan penelitian.

Sekolah itu baik, ...

... kalau
sudah meninggalkan prosedur proses layaknya pabrik, dan menggunakan penilaian humanistik lebih individual. Di sekolah-sekolah terbaik, ini berarti sistem penilaiannya relatif tidak menggunakan hukuman dalam jenis apapun, tidak ada pengelompokan bagi siswa yang dianggap 'sama', dan tidak ada pelabelan (murid yang 'baik', siswa yang 'lambat', dll).

Sekolah itu baik, ...

... kala
u prioritas diutamakan dibanding hirarki yang sempit. Sebagai contoh, di banyak sekolah siswa dapat dinilai lambat semata-mata atas dasar kemampuan membaca dan matematika. Padahal siswa tersebut bisa saja seorang musisi, aktor yang baik, atau bahkan pemimpin kelompok, tetapi mereka menerima pengakuan formal yang sangat sedikit untuk keterampilan ini. Hal ini jelas sebuah kekonyolan, dan di sebuah sekolah yang baik, sistem evaluasi telah disesuaikan untuk menangani masalah ini.

Sekolah itu baik, ...

... kalau
ukuran sekolah itu cukup kecil sehingga pengawasan (dan hal-hal lain juga) bisa dilaksanakan secara personal, secara manusiawi, bukan dari sudut pandang 'logistik' semata. Tidak mungkin hubungan kolaboratif dan bermakna bisa terjadi dalam sebuah gedung berisi 5.000 siswa, atau 3.000 siswa. Tidak ada yang benar-benar tahu apa ukuran sekolah yang dianggap manusiawi, tetapi dalam berbagai penelitian, mungkin angkanya kira-kira sekitar 250 siswa.

Sekolah itu baik, ...

... kalau
guru melepaskan peran mereka sebagai tokoh otoritas tunggal. Guru mulai melihat diri mereka sebagai pelajar, dan mencoba untuk mengembangkan sebuah komunitas belajar, di mana guru lebih berfungsi sebagai koordinator atau fasilitator kegiatan daripada sebagai diktator.

Sekolah itu baik, ...

... kalau
siswa-siswanya tidak ditempatkan dalam suasana kompetitif terus-menerus, tetapi justru memiliki hubungan kolaboratif. Idealnya, sekolah yang baik berusaha untuk mencapai perasaan sebagai 'satu keluarga', di mana setiap anggota dibantu untuk tumbuh dengan caranya sendiri, tanpa harus mengorbankan orang lain.

Sekolah itu baik, ...

... kalau
sekolah itu menjauhi birokrasi dan mulai menuju peningkatan partisipasi masyarakat. Artinya, ada wadah yang dibentuk agar orang tua dapat mengungkapkan keluhan mereka terhadap sekolah dan juga membantu sekolah menjalankan fungsinya.