31 October 2011

KARENA MEREKA MASIH BELIA

"Anak sekarang pada males, susah diatur, sering ambil jalan pintas. Mau nilai bagus tapi nyontek, dipersiapkan untuk masa depan tapi kerjanya bolos melulu.""

Jujur saja, saya sendiri sering memandang siswa dengan gregetan, sambil berpikir semacam di atas. Kalimat yang sama juga sering saya dengar dari pendidik, baik guru maupun ortu. Bukan kalimat yang baik, memang, dan membuktikan bahwa ada cara pandang yang salah di otak kita. Sayangnya, kadang pikiran jelek ini terlontar juga. Ternyata ada saat ketika teori kependidikan dan parenting tak cukup mengekang rasa kesal.

Pagi ini saya berdiri di depan barisan anak-anak yang mengikuti upacara Senin. Seperti kita dulu, mungkin, anak-anak yang berusia belasan tahun ini merasa telah cukup 'gede'. Namun bila diukur dari usia saya, mereka masih belia. masih panjang jalannya.

Dan saya bersykur, "Alhamdulillah ya Allah, mereka masih begitu belia."

Sebab apapun kenakalan, kekonyolan, keusilan, kemalasan, dan segala macam pelanggaran yang mereka lalukan sekarang, hari ini -insya Allah- bukanlah waktu ketika penilaian akhir bagi mereka diberikan. Insya Allah, masih ada besok, dan besok lagi, dan tahun depan, dan sepuluh dua puluh tahun ke depan, untuk mereka tumbuh, berkembang, dan menjadi lebih baik. Amin.

Mungkin mereka ada yang bandel dan malas, tapi itu kan hari ini. Besok, mereka akan selalu BISA jadi LEBIH BAIK.

Sekali lagi, amin ya Rabbal 'alamin .


23 October 2011

BELAJAR ITU 'ENAAAAK'....

Ketika membuka akun Facebook, ada notifikasi bahwa Mba Lea Kesuma nge-tag saya di komentarnya. Ternyata Mba Lea memandu saya ke cerita seorang guru di sebuah forum.



Guru ini bilang dia sudah kehabisan akal mengatur siswanya. Susah diatur, tidak mengormati guru, dan sebagainya. Akhirnya dia menggunakan penggaris kayu untuk menertibkan siswa. Berkonsultasi dengan guru lain, mereka juga menghadapi hal yang sama. Curhat sama kepsek, eh kepseknya malah marah (idiiiih....). Jadi harus gimana?

Saya sendiri merasa bahwa curhat ibu guru di forum itu membuat saya harus banyak bersyukur. Saya tidak mengajar anak-anak kaya dengan otak superior, fasilitas pun sering kali harus cari jalan sendiri. Tapi murid-murid saya masih terhitung sopan dan mau diajak kerja sama.

Kembali lagi ke cerita si ibu guru di atas. Teman-teman guru di sana banyak berkomentar, menyarankan berbagai macam hal. Tentu saja saya sangat sepakat, bahwa diperlukan kesabaran, pendekatan, ketulusan, untuk mendekati siswa-siswanya. Tapi saya sendiri, bila diberi saran seperti itu, sepertinya masih tetap akan bingung.

Yang dibutuhkan si ibu guru tampaknya adalah cara praktis untuk memutus lingkaran permasalahannya ini. Bukan teori, tapi praktek konkritnya.

Saya sendiri masih amat sedikit pengalaman, tapi barangkali apa yang saya tuliskan ini bisa juga jadi 'pembuka jalan'.

Bayangkan kondisi berikut:
Seorang guru masuk, dan memulai pelajaran dengan berkata, "Anak-anak, hari ini kita membahas tentang kerangka karangan."

Ada yang salah?

Ya tidak ada, tapi bila kita merujuk pada metode terbaru, ini bukanlah awal yang baik untuk memulai pelajaran. Kering, kaku, tanpa gairah. Padahal otak kita bekerja ketika panca indera dirangsang dan minat ditumbuhkan.

Sekarang bayangkan yang ini:
Seorang guru masuk, membawa kotak misterius, sambil bertanya, "Kotak apa ini?" Siswa tak menjawab, tapi semua diam karena penasaran. Guru tersebut kemudian membuka kotak, dan aroma martabak terang bulan menguar ke seantero kelas.

Nah, bagaimana? Terasa banget kan bedanya? Efeknya juga berbeda pada otak.



Banyak sekali cara-cara baru dalam pembelajaran, tapi setiap kali saya membawa makanan ke kelas, suasana langsung meriah. Tidak perlu yang mahal-mahal, saya biasa bawa permen loli, kacang atom, atau sesekali makanan khas bila ada kelebihan rezeki.

Kadang ada makanan yang di bawa untuk hadiah kuis atau games, tapi banyak juga yang bisa jadi bagian dalam pembelajaran. Makanan yang berbentuk lingkaran bisa digunakan untuk belajar pecahan, yang butiran bisa untuk belajar himpunan, dsb. Untuk belajar sains, wah lebih banyak lagi, dari mulai kerang rebus, yoghurt, tempe, sampai es krim (yang dibuat manual).

Intinya satu: alat peraganya BISA DIMAKAN! \(^o^)/

Dalam konteks mata pelajaran yang saya ampu, makanan digunakan untuk belajar kosa kata, percakapan, dan budaya. Misalnya, dengan membawa susu UHT 1 liter ke kelas. Untuk apa? untuk belajar penambahan tenten dan ya-yu-yo kecil pada hiragana.

Kami membahas bagaimana menulis hiragana untuk gyuu -sapi- dan nyuu -susu- (menulis-tata bahasa), melafalkannya bersama (membaca), berlatih bagaimana memintanya di sebuah toko (percakapan). Terakhir, susunya dibagikan dalam cup kecil-kecil dan diminum sama-sama. Belajar itu memang 'enak'!

Saya juga membawa kacang atom ke kelas, bersama dengan hashi (sumpit), beli di toko plastik Rp6000/20 pasang. Kebetulan, di buku ada percakapan yang berbunyi, "Hashi, onegaishimasu (tolong ambilkan sumpitnya)."



Kami membaca percakapan (membaca), mempraktekkan dengan hashi beneran (percakapan), belajar memegang sumpit dengan benar (budaya), dan mencoba menggunakan sumpit untuk makan kacang atom. Terakhir, lomba makan kacang atom dengan sumpit! Wah, seru sekali waktu itu.

Pernah seorang rekan guru bertanya, bagaimana agar siswa tidak gampang lupa dengan pelajaran. Waktu itu saya ikut sumbang saran, bahwa kita perlu memberikan 'cantolan memori' pada mata pelajaran, karena otak akan menyimpan sesuatu yang berkesan secara emosi, baik senang maupun sedih. Nah, salah satu cara memberi cantolan memori itu adalah dengan makanan.

Jadi kalau saya ditanya bagaimana cara mengambil hati anak-anak ini? Mungkin salah satu cara yang bisa dicoba adalah lewat makanan. Bukan untuk menyogok mereka agar mau bergerak, tapi sebagai media belajar yang menyenangkan.

Sekali lagi, belajar itu bisa sungguhan ENAK!


Salam,
Irma
*suka makan tapi ga (terlalu) suka masak*

21 October 2011

GURU JUGA WAJIB BELAJAR

Sependek pengalaman saya, ada satu kenyataan yang aneh, bahwa terkadang kita lebih bisa berharap agar fasilitas fisik dilengkapi daripada kualitas personalia ditingkatkan. Sssttt, ini gosipnya: ada sekolah yang bisa menganggarkan 80 juta untuk promosi, tapi NOL untuk pelatihan guru. Ini sekolah swasta bergelar SSN (Sekolah Standar Nasional) loh...

Jika sudah mengajar belasan bahkan puluhan tahun, apakah guru bisa lantas jadi berkualitas? Jika diceramahi, "Bu, Pak, jadi guru itu harus kreatif, ngajar dengan menyenangkan," lalu mereka lantas jadi kreatif dan bisa ngajar dengan menyenangkan?

Guru itu perlu dilatih, dibuat sistem penjamin mutunya, dibuat sistem pengawasannya, atau secara singkat: DIPAKSA untuk jadi baik.

Makanya, jadi guru adalah profesi di mana menuntut ilmu sepanjang hayat menjadi WAJIB dilakukan.

Saya pernah bertemu dengan kepala sekolah, bukan satu tapi DUA orang, untuk mengusulkan pertemuan forum guru. Kita mulai dengan shalat Dhuha, belajar tilawah (ga yakin juga guru-guru lancar semua), lalu kultum. Setelah rehat barang 15 menit, mulailah pelatihannya. Jangan yang bentuknya ceramah-ceramah-ceramah, tapi langsung praktek.

Misalnya, gimana biin RPP yang baik. Suruh gurunya bikin saat itu juga, lalu dikoreksi oleh tutor. Atau gimana menerapkan metode T.A.N.D.U.R di kelas. Atau bagaimana cara mencatat (dan menghapal) dengan Mind Map. Atau teknik-teknik yang memadukan hapalan dengan gaya belajar kinestetik. Semuanya BUKAN CERAMAH, tapi praktek langsung.

Terus dijawab apa?

SULIT DILAKSANAKAN.

Dananya besar, guru-guru harus diberi transport dan makan siang, guru-guru harus meninggalkan jam mengajar di sekolah lain, ga boleh memakai hari efektif sekolah karena anak jadi terbengkalai, dan sebagainya dan sebagainya dan sebagainya.

Ah, sudahlah.

Karena mentok, apa lalu jadi putus asa? NO WAY! Kalo yang di atas-atas itu ga mau, biarin aja. Kita ajak aja yang mau. Dan hari Kamis kemarin, sekitar sepuluh orang berkumpul di ruang audio visual perpustakaan. Kami belajar bersama tentang membuat Mind Map.



Mencatat adalah masalah klasik di sekolah kami. Tak ada buku paket, kami hanya meggunakan LKS. Mutu LKS rendah? Ya, benar, tapi kalau anda mengenal siswa-siswa di sekolah kami, beneran ga tegaaaaa menyuruh siswa beli buku paket sampe jutaan setahunnya. Akhirnya LKS jadi pilihan yang diambil.

Lalu masalah lainnya timbul. LKS tidak cukup dijadikan sumber belajar, jadi guru harus memberi catatan. Nah, inilah titik kritisnya. Saya terganggu sekali bila ada siswa yang mengisi status Facebook semacam, "Gila, nyatet sampe 3 lembar bolak-balik."

Inilah dasar kenapa kami berlatih mencatat menggunakan Mind Map yang lebih enteng, kreatif, menyenangkan, dan mudah dihapal.



Guru-guru ini datang padahal ada yang tak ada jam mengajar hari itu, mereka tidak diberi transport dan konsumsi khusus pelatihan, dan tanpa setifikat. Alat yang diperlukan hanya kertas kosong dan spidol warna yang digunakan bersama-sama. Meski menginginkan pembicara sekaliber Hernowo, tapi kami mencukupkan diri dengan pemateri gratisan, yaitu saya, hehehe.... Tinggal menambahkan beberapa piring gorengan sebagai penghangat suasana.

Jadi omong kosong kalau pelatihan guru itu ribet dan mahal!



Sepuluh orang yang hadir, tapi saya melihat semua menikmati sekali. Bu Muiyah (pakai jilbab hitam - batik PGRI) nyeletuk, "Nanti saya mau ajarin ke anak saya ah...." Wah, bagus sekali.

Kebetulan yang sudah selesai selain saya adalah Fahru, guru Geografi. Meskipun materi yang dibuat Mind Map-nya sama sekali asing untuk dia (karena materi mapel Bahasa Jepang ^_^;), saya coba tes isi materinya di depan rekan-rekan guru, ternyata langsung berhasil diingat tanpa menghapal, akibat penggunaan warna, gambar dan kode ketika membuat Mind Map.



Katika jam 11.30 tiba, saya mengingatkan bahwa kita harus menghentikan pelatihan. Tentu saja kami tak bisa meninggalkan jam mengajar seharian penuh, dan ruang peprpustakaan juga akan digunakan oleh siswa yang keluar zuhur. Apa tanggapan para guru?

"Yaaaaa, padahal lagi enak!"

Tuh kan, masih ga percaya kalau belajar juga bisa menyenangkan?

HASEEEEEK....

Hadeeeeh....

Bikin soal mah enak. Diapain nih biar ngerjainnya seru ya.... Di tambah gambar apa ya.... Gimana caranya biar anak-anak tetep mikir meskipun ujiannya boleh open book ya.... Pokoknya asiklah.

Pas ngoreksinya, huwaaaaa.... Mana essay semua. Mana anak-anak nulisnya kadang geje alias ga kebaca. Mana ada 5 kelas dikali sekian anak.

Eh guru di sebelah saya langsung interupsi, "Lha saya 11 kelas!" Ish, merusak suasana ajah =_=', orang lagi enak-enak mengeluh seakan diri ini guru paling menderita sedunia.

Tapi ada aja sih yang menghibur hati di kala meneliti keritingnya hiragana satu per satu. Misalnya, ya ampuuuun, ga tega banget kan ngasih angka 16 di atas kertas ujian (padahal ujiannya open book!). Atau ada juga yang di kelas 'ga keliatan' taunya dapet lebih bagus dari yang banyak omong.

Tiba-tiba.... Waks, apaan nih?



Huhuhuhu.... ada anak kelas X yang menjawab pertanyaan PAKE KANJI (please ya, bukan nama tepung).

Masalah pertama, saya belum ngajarin. Yang kedua, dan ini paling parah, SAYA GA BISA KANJI! Ng... ini bacanya... Kyou wa? Asa wa? Ima wa? Apa ya.... @~@

Apa saya salahin aja, secara ga sesuai dengan materi yang saya beri. Tapi kayaknya ga boleh deh kayak gitu. Itu namanya ga menghargai usaha murid. Lagian, mana boleh saya sok tau di luar my area of experties *tsaaah...*.

Oh ya, kalau sedang iseng, saya suka ngasih pertanyaan tambahan, yang ga masuk penilaian. Jadi cuma buat seru-seruan aja. Kali ini saya masukkan di soal kelas XI, bunyinya: "Hal apa yang paling menyebalkan dari pelajaran Bahasa Jepang?"

Senang sekali mendapati jawaban jujur mereka: Susah menghapal hiragana, ga suka disuruh maju buat ambil nilai percakapan, kadang suka bosen, ribet kalo suruh menyalin teks ke hiragana, dll.



Tapi yang satu ini bikin saya ketawa:

"Biasa-biasa bae. Tapi kalo lama kaga belajar Bahasa Jepang jadi lupa."

Hahahaha, haseeeek....

(bagi yang belum tau, logat tersebut dipakai oleh masyarakat Betawi di Ciledug dan sekitarnya, yang berbeda sekali dengan yang dipakai di kampung saya di Kebayoran Lama, padahal hanya berjarak 30 menit naik angkot)

JANJI UNTUK FERI

Ada beberapa siswa saya yang mungkin mengalami masalah psikologis, meski kami adalah sekolah umum biasa. Setelah beberapa kali mengalami, tampaknya kami mulai terbiasa. Kami tidak memaksa mereka mengikuti standar, dan mencari cara lain agar mereka tetap bisa berpartisipasi dan bisa dievaluasi dengan standar khusus.

Tapi dengan Feri, beda kasusnya.

Sebelumnya, saya tidak menyadari ada masalah dengan Feri (nama disamarkan). Maklum, untuk pertemuan awal, biasanya kami tidak banyak bergerak, paling hanya berkenalan dan mendengarkan saya ngoceh tentang mata pelajaran yang saya ampu.

Begitu kelas menulis dimulai, barulah saya menemukan bahwa Feri berjalan dengan goyah dibantu dengan tongkat. Unit kami ada di lantai dua, dan cara Feri berjalan naik-turun belasan tangga cukup mengkhawatirkan saya. Bila bahunya tersenggol, kemungkinan dia akan jatuh. Teman-teman sekelasnya harus membantu jika ia harus melewati selokan yang hanya selebar 20 senti saja.

"Kamu dapat kecelakaan?" tanya saya.
Dia bilang, "Saya kena demam tinggi karena diare, sampai kejang-kejang. Sekarang sedang dalam masa pemulihan."



Barulah saya mengerti kenapa tempo hari menemukan guratan aneh di salah satu lembar kerja anak. Kalau tulisan latin digaya-gayain, itu wajar. Tapi saya tidak pernah menemukan garis-garis hiragana yang ditulis dengan bergelombang.

Rupanya itu lembar kerja Feri. Dia tidak melakukannya -menulis romaji dan hiragana dengan bergelombang- dengan sengaja.

Kejang yang dialami mempengaruhi seluruh syaraf motorik baik kasar maupun halus. Badannya bergetar bila berjalan, tangannya bergetar bila menulis, bahkan bicaranya jadi tak jelas karena getaran pada otot wajahnya.

Sementara banyak anak sehat yang mangkir datang ke sekolah, Feri tak kendur semangatnya. Selama tiga bulan ini, kesehatannya tampak membaik. Dia bisa berjalan pelan tanpa tongkat, tapi getaran itu masih ada di seluruh tubuhnya.

Tadi pagi ketika upacara bendera Senin, saya melihatnya di barisan paling depan (fotonya kejauhan, tapi Feri ada di tengah-tengah gambar).



Feri hanya terganggu motoriknya, tapi kecerdasannya sama sekali normal. Dia mengerti materi yang diberikan, menjawab pertanyaan dengan lancar, dan menghapal percakapan dengan baik. Kekurangannya hanya di sisi motorik, yaitu menulis dan melafalkan.

Mulanya saya ragu, apakah harus memperlakukannya secara istimewa. Di pelajaran saya, beberapa materi mengharuskan anak bergerak cukup banyak, dan itu tentu akan menyulitkan Feri. Tapi.... ah, tidak. Memperlakukannya secara istimewa -dengan membedakan tugas/evaluasi yang diberikan- sepertinya akan melecehkan semangatnya.

Jadi hingga saat ini, Feri mendapat tugas yang sama dengan semua rekan sekelasnya. Dia akan maju pelan-pelan, dengan badan yang bergetar, tersenyum (dia sering sekali tersenyum), dan membuktikan bahwa ia sama hebat dengan teman-teman sekelasnya.

Dari semua hal yang saya bisa lakukan untuk Feri, barangkali yang terbaik adalah memberinya peluang untuk merasa setara dan mampu bersaing.

17 October 2011



Saya ini tidak belajar ilmu kependidikan secara formal, jadi hanya baca-baca saja buku tentang otak kiri dan otak kanan. Katanya, pembelajaran yang paling tepat adalah ketika kedua otak 'jalan' barengan. Kekurangan pendidikan kita katanya karena terlalu berfokus pada otak kiri. Makanya banyak yang pinter tapi ga kreatif.



Ngomong-ngomong soal kreatif ini, kayaknya SEMUA sekolah nyelipin kata 'kreatif' ini di visi-misi-tujuan-motto what so ever. Tapi kan bukan dipajangnya yang penting, tapi penerapannya.

Motif cat tembok, susunan bangku, pengaturan kelas, bikin anak kreatif ga?
Cara gurunya ngajar bikin anak kreatif ga?
Kegiatan dan eskulnya bikin anak kreatif ga?
Tugas-tugasnya bikin anak kreatif ga?

Kalo bilang kepingin menghasilkan anak yang kreatif, ya harus diusahakan. Bukan cuma dipajang di banner dan brosur.

Waduh, kok jadi sewot ginih ^_^:

Jadi seperti kata si Akang, semua orang punya constraint masing-masing. Constraint saya adalah model sekolah konvensional yang rada 'berbahaya' kalo terlalu dibikin berbeda. 'Berbahaya' maksudnya mengganggu stabilitas lingkungan, secara ada 4 unit berbeda di satu lokasi, kelasnya dipakai pagi siang, and so un and so un (hadeh, maklum ngeblog jam 2 malem).

Jadi, dengan constraint yang ada, kita optimalkan aja apa yang ada, ya toh. Misalnya, materi jikoshoukai, atau perkenalan di bawah ini.

Tata bahasa itu ada di otak kiri, sedang gambar dan warna ada di otak kanan. Untuk nyambungin keduanya, beginilah RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) yang saya siapkan. RPP itu wajib dibikin setiap guru/dosen di seluruh dunia ^_^.




Daaaaan, ini contoh yang saya berikan di papan tulis:



hajimemashite.
watashi wa iruma desu.
douzo yoroshiku.

(tulisan 'iruma' masih pakai hiragana, karena belum belajar katakana ^^;)

Bawahnya ada pas foto diri, hahahaha.... Bawahnya lagi comicstrip bergambar 2 stickman lagi ngobrol, nanyain o kuni wa (asal negara)? o shigoto wa (pekerjaan)?

Dan anak-anak mengerjakan dengan kreatifitas sendiri-sendiri. Modalnya murah kok, hanya kertas kosong dan spidol warna. Ga pake multimedia, ga pake efek suara. Bukan ga mau sih, tapi emang ga ada, hehehehe....



Jadi begitulah, maunya sih belajar dengan mengaktifkan dua bagian otak bersamaan. Mudah-mudahan bisa nyenggol juga dikit-dikit.