29 March 2011

HADIAH INDAH

Biasanya di akhir tahun, guru mendapat hadiah dari siswanya ya? Saya sebelumnya tidak pernah tau ada budaya seperti itu. Tidak ketika saya sekolah dulu, tidak pula ketika saya jadi guru sekarang. Saya baru tahu tentang budaya menghadiahi guru ketika kenaikan kelas justru ketika anak saya naik dari TK A ke TK B dulu.

Untungnya sebelum itu seorang teman wali murid membisiki, jadi saya tidak menjadi orang yang tidak sopan. Ya gimana juga itu kan budaya sekolah itu. Jadi saya membungkus buku Totto-chan untuk kepala sekolah, dan sekotak flash card untuk kedua ibu guru kelas.

Ketika tiba waktu pengambilan rapor, saya tepok jidat di TKP lihat hadiah yang dibawa wali murid lainnya. Ternyata guru itu wajarnya dikasih barang yang bisa dia gunakan, semacam tas, baju, parsel sembako, setrikaan, seprai, handuk, atau malah beberapa lembar dalam amplop. Bukan malah dikasih alat peraga buat di kelas (itu mah disediain sekolah, kali). Terus, tiap guru dikasih satu, bukan kado borongan kayak saya.

Lah mana saya tau? Di sekolah saya, dulu dan sekarang, ga ada kebiasaan itu.Jadi sampai kemarin, saya belum pernah menerima hadiah dari siswa atau walinya. Sampai kemarin.

Hari Senin 28 Maret adalah hari pertama Ujian Nasional Kewenangan Sekolah di Tangerang (atau di Indonesia ya?) bagi siswa SMA/SMK/MA/SMALB. Saya datang jam 7, tapi memang bel baru berbunyi jam 7.30. Sambil menunggu, saya asyik mengoreksi worksheet anak-anak. Tiba-tiba....

Ina, siswa kelas XII yang tentunya hari ini jadi peserta Ujian Sekolah, mendekati saya. "Ini buat Ibu."

Eh, jadi bengong deh.... Maksudnya, saya ga ulang tahun, ga ada peristiwa penting apa gitu, dan bukan pula waktu kenaikan kelas atau perpisahan. Makanya saya jadi bengong disodori kado, tapi akhirnya saya terima sambil tersenyum dan mengucap terima kasih.

Setelah Ina berlalu, saya membuka kotak kecil yang diberinya. Ada suratnya, di sana tertulis: "Saya ga tau mau nulis apa, cuma mau ngasih aja buat Ibu. Ini saya yang bikin bareng Mamah." Ketika saya tengok di bagian dalam, tampak isinya berkilauan. Wuaaa, sukaaaaa.....



Saya tidak suka gelang, cincin (tapi kalau cincin kawin sih pakai), apalagi kalung. Tapi saya suka bros, malahan mengoleksinya kecil-kecilan. Dan Ina membuatkan saya peniti bros yang cantik, sepuluh buah! Terharu....


Pertama, dia membuatnya dengan tangan sendiri, itu saja sudah istimewa. Kedua, satu bros model ini di pasaran harganya sekitar 10-15 ribu per buah. Memberi 10 buah peniti bros bukan bukan hal yang murah. Selain Surati, Ina adalah salah satu siswa saya yang bekerja part time sebagai pembantu rumah tangga, atau kasarnya, kuli cuci-setrika. Saya tau karena dia bekerja di rumah adik ipar dari tante saya.

Jadi ketika bel berbunyi, saya melepas bros yang saya kenakan, dan menggantinya dengan peniti bros hadiah dari Ina. Barulah setelah itu melangkah menuju ruang ujian. Baru ini cara yang terpikirkan untuk menyampaikan apresiasi saya.

"Kusematkan di dadaku, dekat dengan hatiku. Indah sekali hadiahmu."

12 March 2011

KARTU JIMAT

Hari Sabtu yang menyenangkan.

Kelas XII sudah ngebul kepalanya, selain pelajaran reguler yang jumlahnya 14 mapel yang tengah dipersiapkan untuk Ujian Sekolah, masih harus mengikuti pendalaman materi setiap hari hingga hari Minggu. Bukan semangat yang tumbuh, malah burn out.

Makanya saya cukup tahu diri dengan tidak ikut mengejar target kurikulum. Kan cuma pelajaran bahasa asing tambahan saja, apalagi soal ujian sekolahnya saya buat sendiri. Jadi santai sajalah.

Makanya saya membawa anak-anak ke selasar masjid pagi ini, agar mereka bisa duduk dan bergerak lebih leluasa. Sebenarnya saya selalu memimpikan taman rindang dengan saung, tapi tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada saung, selasar masjid pun jadi ^_^;. AlhamduliLlah...

Apa pelajaran hari ini? Tak ada di kurikulum, tapi ada dalam kehidupan.

Apa yang kami lakukan hari ini asli nyontek metode Bu Guru Lea Kesuma dari Salatiga. Sang empunya ide wajib saya tuliskan namanya di sini, agar kita yang membaca tulisan ini bisa turut berdoa, mudah-mudahan Allah memberi berkah atas ilmu yang dibagikannya ini. Amin...

Beberapa hari sebelumnya, saya membeli 100 lembar kertas tebal yang biasa digunakan untuk sampul depan di tempat fotokopian. Masing-masing dipotong menjadi 12 kartu kecil. Pagi tadi di selasar masjid, tiap anak mendapat kartu sejumlah teman-temannya di kelas. Mereka kemudian menulis nama satu teman sekelas di atas tiap kartu, lalu menuliskan hal positif, hanya yang positif, tentang teman itu.

Setelah selesai, masing-masing anak akan menyerahkan tiap kartu kepada orang yang dituju. Jadi tiap anak akan mendapat puluhan kartu yang semuanya berisi kesan positif teman-teman sekelas tentang dirinya. Kartu-kartu itu dilubangi dengan puncher, lalu diikat dengan pita biru.

Hanya 25.000 rupiah untuk 100 lembar kertas itu, 3000 untuk 4 meter pita, plus sedikit waktu untuk memotong. Tapi anda mesti lihat sendiri bagaimana senyum dan binar mata mereka saat membaca kartu-kartu itu. Pemandangan yang sungguh tak ternilai.



"Ini adalah 'kartu jimat' kalian. Setiap kalian merasa gagal, kesepian, tak berdaya, putus asa, baca kartu-kartu ini, dan kalian akan tahu bahwa kalian semua adalah anak yang baik, anak yang mampu, dan punya teman-teman yang mendukung kalian."



Sungguh hari Sabtu yang indah.



Oh ya, dan tentu saja saya 100% percaya bahwa mereka sedang BELAJAR saat itu.

GREGETAN!

Selain sebagai guru, kebetulan saya adalah kepala perpustakaan di lingkungan yayasan tempat saya bekerja. Perpustakaannya hanya satu, jelas tak cukup melayani semua siswa dari 4 unit berbeda, tapi alhamdulillah, dukungan yang didapat dari yayasan boleh dibilang cukup.



Untuk sementara, diberi ruang dengan AC dan karyawan saja sudah kemewahan. Tahun lalu diberi
in focus, alhamdulillah. Saya kepingin meminta tambahan buku-buku, tiga atau empat komputer dengan akses internet, serta dana pelatihan untuk pengembangan kualitas guru dan siswa. Tapi yah, dananya terbatas (bangeeeet).

Sebenarnya di awal tahun saya sudah mengajukan rencana anggaran belanja unit perpustakaan yang berisi pelatihan dan kegiatan, tapi pas turun persetujuannya, semua jadi hilang, hahaha...

Sepertinya ini terjadi karena saya kurang mempopulerkan pentingnya perpustakaan, maka dukungan yang didapat belum optimal. Mungkin pihak yayasan perlu diberi salinan
klipingnya Mbak Lea yang ditulis oleh Mbak Puti yah.

Alhamdulillah, saya punya teman-teman dengan minat dan semangat yang luar biasa, terutama dalam bidang kepenulisan. Tahun 2010 lalu, unit perpustakaan digandeng FLP Jepang untuk mengadakan pelatihan kepenulisan. Pembicaranya adalah Mbak Nesia, penulis buku Dengan Pujian, Bukan Kemarahan. Pelatihan ini diikuti dengan lomba menulis yang disambut antusias.

Sekarang, unit perpustakaan sedang dalam masa negosiasi dengan salah satu organisasi lain untuk mengadakan pelatihan untuk siswa. Doakan mudah-mudahan berhasil yah.

Satu program lain yang digagas unit perpustakaan adalah kunjungan wajib. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Perpustakaan kan pendukung sekolah. Eh, bukan ding. Perpustakaan justru tanda bahwa suatu sekolah berkualitas, begitu yang saya baca dari kliping Mbak Lea, yang saya kasih linknya di atas itu.

Jadi tiap kelas diberi jadwal kunjungan secara bergilir. tiap guru yang mendapat jadwal harus membawa anak-anak untuk belajar di perpustakaan. Ada in focus, ada TV, ada DVD player, ada buku dan ensiklopedi (meski terbatas), majalah dan koran bekas, semua bisa digunakan untuk pembelajaran yang lebih kaya dibandingkan di kelas.

Apa yang terjadi?

"Bu, tadi gurunya nanya, mau ngapain nih di perpus? Memang ga ada VCD atau apa gitu yang disediakan perpus untuk ditonton anak-anak?" tanya penjaga perpustakaan.

Saya nepok jidat. Ngapain di perpus? Waduh, sosialisasi program ini pas raker yayasan awal tahun lalu ga nyantol rupanya. Bukankah ada banyak sumber belajar tersedia, apa tak terpikir untuk digunakan? Atau paling tidak, bawalah anak-anak ke perpus agar sekali-sekali bisa belajar lesehan sambil ngadem di bawah AC. Yah, sebagai variasilah.

Tapi susah sih, masih banyak guru yang memandang bahwa kalau tidak duduk di bangku dan tidak di kelas tempatnya, maka pembelajaran tidak kondusif. Anak-anak jangan diberi kebebasan banyak-banyak, nanti jadi sulit diatur dan tidak berkonsentrasi. Padahal anak-anak sendiri memberi testimoni soal ini:



Keliatan ga? Maklum, pake kamera hape jadul. Ceritanya saya iseng memasukkan soal tentang 'apa yang kamu suka dan kamu benci' dari pelajaran saya di lembar soal UTS. Salah satu menulis: "Ga sukanya kalau belajar dilakukan di dalam kelas terus."




Yang ini terbaca: "Yang saya tidak suka, belajarnya di kelas. aturan dua/seminggu sekali kita di perpus atau di masjid."


Oh ya. Suatu kali, saya mendapati anak-anak yang mendapat jadwal kunjungan wajib sedang asyik mengobrol, sementara film dokumenter diputar di depan mereka. Kemana gurunya? Ngaso di kantor. Jiaaah....

Geregetaaaan....

Dengarlah tuntutan para guru ketika raker. "Sekolah ini akan naik kualitasnya bila komputer labkom pakai LCD yang tipis, ruangan pakai AC, ada hot spotnya, disediakan perangkat multi media, dukungan audiovisual, de el el es be."

Lha buat apa itu semua kalau ga dipakai? Pemborosan bukan, bila semua cuma demi kenyamanan, atau malah jadi alat pamer, dan tidak menambah nilai apa-apa bagi pembelajaran siswa.

Geregetan jadinya geregetan...

Pokoknya tahun ajaran depan saya mau NGOTOT minta dana untuk pelatihan guru!

11 March 2011

TENTU SAJA, 100%!

Di tengah-tengah pembelajaran, saya bertanya-tanya, ada apa ya di masjid, kok ada yang beres-beres dan ngetes sound. Ga lama, beberapa orang berpakaian seragam batik berdatangan. Waduh, rupanya masjid mau dipakai untuk akad nikah.

Sempat terpikir untuk mengembalikan mereka ke kelas, tapi akhirnya saya berkata, "Hayo, hayo, kita pindah ke lantai dua."

Di lantai dua, saya memulai kembali kegiatan kami dengan pembukaan narsistik ^_~v.

"Ketika saya sekolah dan kemudian kuliah, saya selalu berpikir saya akan lulus, diwisuda, lalu mencari pekerjaan dan berkarir. Setelah itu barulah menikah dan berkeluarga. Tak pernah terbayangkan bahwa ternyata saya menikah di usia 21 tahun, saat masih kuliah.

Beberapa orang mungkin merasa, menikah akan menutup banyak kesempatan, karena harus membagi waktu mengurus keluarga, apalagi kalau langsung memiliki anak. Namun sebaliknya, bagi saya sendiri, menikah justru membuka dunia pada saya."


Saya bercerita bahwa pernikahan justru membawa saya tinggal di luar negeri. Adalah suami saya yang rajin menyindir, "Masa sarjana sastra ga bisa menulis?" Maka setelah menikah, jadilah saya penulis, meski amatir, dimulai dari tulisan rutin pojok fiksi buletin dwimingguan KMII Jepang. Ketika kembali ke tanah air, suami kembali ke kampus, dan saya menjadi guru, maka kawan diskusi paling intens tentang dunia pendidikan saya adalah suami, karena kesamaan profesi kami. Maka menikah muda bisa jadi keren, bisa jadi hebat, tergantung dengan siapa kita menikah.
"Nah, hari pernikahan itu, anak-anak, tidak bisa diulang. Maksud saya bukan 'menikah-dengan-siapa'nya, tapi prosesinya. Bila ada cacat dalam prosesinya, maka hal itu terkenang seumur hidup. Makanya, hari ini kita akan melakukan kegiatan dengan tenang, karena di bawah akan ada akad nikah yang tak boleh dibuat cacat prosesinya oleh kita.
"

Dua jam pelajaran berlalu. Beberapa menit sebelum bel, saya sudah bilang -dengan suara tertahan- kalau kita harus kembali ke kelas. Sudah hampir masuk jam pelajaran berikutnya. Ternyata saya dicuekin. Ada yang masih cekikikan baca kartu. Ada yang lagi ngantri ngebolongin kertas dan masang-masang pita.

Saya telfon ke kantor SMA, "Bu Ida udah nunggu yah?"

Bu Ida ini guru ekonomi, mengisi pelajaran setelah saya. Ternyata Bu Ida izin tidak masuk. Hari Rabu lalu anaknya memang kecelakaan, rupanya belum membaik hingga hari ini. Jadi semua serba kebetulan. Kebetulan kami ada di masjid, kebetulan di masjid ada acara akad nikah, kebetulan dua jam pelajaran setelah saya kosong.

Jadi kami meneruskan pelajaran, pelajaran kehidupan.

Saya biarkan anak-anak yang sudah selesai dengan kartu-kartu mereka nangkring di balkon (?) lantai dua. Dari sana mereka bisa melihat jelas proses akad nikah. Melihat perangkatnya, petugas, dan cara akad berlangsung. Meski bab nikah mungkin sudah dipelajari dalam pelajaran agama, rupanya banyak anak yang belum pernah menghadiri akad nikah secara langsung.

Saya bilang, ini saatnya pengantin wanita minta izin pada orang tua. Si pengantin amat sedih, hingga suaranya tersamar isakan, tapi suasananya sudah cukup tertangkap oleh kami. Anak-anak melihat orang-orang di bawah menghapus air mata, menandakah bahwa ini peristiwa besar.


Lalu pengantin pria menjabat tangan sang ayah. Tibalah klimaks acara, aqdunnikah, saat terjadi pemindahan tanggung jawab pemenuhan segala keperluan dan kepentingan seorang wanita dipindahkan dari ayah ke suaminya sekarang.

Jadi apakah pembelajaran yang disebut bermakna itu? Yaitu ketika apa yang dipelajari mendapat konteks, baik dengan pengalaman masa lalu kita, maupun dengan kejadian di dunia nyata. Sulit sekali menciptakan pembelajaran yang bermakna terus-menerus dalam sistem dan struktur seperti sekolah, namun kesempatan apapun yang ada di sekitar kita, harus diraih saat itu juga. Meski tak sedikitpun nyambung dengan mata pelajaran yang saya ampu ^_^;.

Nangkring di balkon masjid, nonton akad nikah saat jam pelajaran kosong, apa saat itu mereka sedang belajar? Tentu saja, 100%!