21 October 2010

'BELAJAR' ITU APA SIH?

Riki mengacau kali ini. Dia menjadi master of ceremony di upacara senin pagi yang lalu, dan dia mengacaukannya. Bayangkan, di depan seisi sekolah, tiga kepsek dan lima wakasek, seluruh dewan guru, dan semua anak yang masuk pagi dari tiga unit berbeda, dia salah membaca urutan acara. Dan bukan hanya sekali, berkali-kali.
Saya tak dapat menahan senyum, karena pagi itu, kebetulan sayalah guru yang ditunjuk menjadi pembina upacara. Mungkin seharusnya saya malu, karena Riki berasal dari unit saya, unit SMA. Paling tidak, ini membuktikan bahwa unit kami tidak mempersiapkan diri dengan sempurna. Tapi dibanding rasa malu, perasaan saya didominasi rasa kasihan dan cemas.

Karena rasa kasihan –mudah-mudahan kata ini turunan dari kata 'kasih', saya tak menyinggung sedikit pun tentang kesalahan ini ketika saya memberi amanat pembina. Di sekolah tempat saya bekerja, pembina biasanya mengawali amanat pembina upacara dengan mengevaluasi kinerja petugas hari itu. Dan menurut saya, ini bukan hal bagus.

Bayangkan, anak belasan tahun, beberapa di antara mereka baru beberapa saat lulus dari SD, dikritik di depan sekian banyak orang. Kejam sekali, menurut saya. Bagaimana kalau kritik itu meninggalkan bekas di hati, semacam ketakutan untuk tampil di depan umum?

Saya sendiri mempunyai pengalaman yang sama. Suatu kali ketika SMA, saya menjadi MC juga di upacara Senin, sama seperti Riki. Ketika sampai pada amanat pembina upacara yang lama itu, saya yang bengong jadi lupa kalau saya adalah petugas upacara (penyakit lupa saya memang sudah kronis ^^;).

Saya mengobrol dengan petugas kesehatan yang berjaga agak di belakang. Terus.... terus.... sampai tidak sadar kalau seisi sekolah sedang mencari saya karena pembina telah lama selesai menyampaikan amanat. Jelas saja, ketika saya maju kembali ke mikrofon, semua anak menertawai saya.

Saya malu sekali saat itu, dan merasa bersalah. Tapi kesalahan saya tidak diumbar-umbar di depan umum, saya tidak dihukum karena kesalahan saya, bahkan dimarahi pun juga tidak. Selesai upacara, wakasek, Pak Hanif, mendekati saya dan menasihati dengan lembut. Begitulah, kesalahan harus mendapat evaluasi, bukan hukuman.

Sekolah saat ini, semakin menuntut terlalu banyak dari anak. Anak tak boleh salah. Kalau hasil ulangan jelek, anak dihukum. Kalau tidak bisa mengerjakan, mereka diomeli. Kalau mencoba dan salah, yang didapat adalah cemooh.

Memangnya belajar itu apa, sih? Quantum Teaching mendefinisikan BELAJAR sebagai proses yang mengalir, dinamis, penuh resiko, dan menggairahkan. Belum ada 'aku tahu' di sana. Kesalahan, kreatifitas, potensi, dan ketakjuban mengisi tempat itu.


Memang selalu ada resiko gagal dalam belajar. Seperti mengajari anak naik sepeda, kita selalu bilang, “Jatuh ga apa-apa. Semakin sering jatuh semakin cepat bisa!” Nah, di sekolah harusnya sama saja. “Gagal ga apa-apa. Semakin sering gagal semakin cepat bisa.” Lagipula, kalau anak sudah bisa semua, buat apalagi belajar, lalu apa gunanya sekolah?


Maka begitu turun dari podium upacara, saya segera menjajari Pak Lutfi, wakasek SMA. Tadi saya melihatnya sempat disindir oleh salah satu pimpinan, dan saya cemas Riki akan terkena masalah setelahnya.


"Kayaknya Riki nervous," kata saya.


"Memang," jawab Pak Lutfi. "Sampai begini..." Ia menggerakkan tangan mencontohkan betapa gemetarnya Riki.


Riki sendiri adalah tipe siswa yang mudah sekali jadi sasaran kemarahan. Dua kali tidak naik kelas, sering menimbun poin pelanggaran (yang artinya rajin bolos dan telat), dan saya curiga bahwa dialah yang menulis pada saya dalam secarik kertas anonim bertuliskan 'saya sedang bermasalah dengan polisi'.


Saya bersyukur wakasek bisa melihat kalau Riki memang sudah berusaha, lagipula ini kali pertama baginya. Jangan sampai Riki dipermalukan atau domarahi karena memalukan unit SMA. Kesalahan kecil begini akan mudah dilupakan, sedang ingatan buruk tentang dimarahi setelah tampil di depan atau setelah berbuat kesalahan bisa bertahan lama dan mempengaruhi sisa kehidupan Riki.



Ini foto petugas upacara Senin lalu. Riki salah satunya. Yang mana? Rahasiaaaaa...... ^_^v

HARE GENE? CKCKCK....

Saya geleng-geleng tak mengerti ketika ada teman saya mengatakan bahwa rata-rata anaknya 94 dan masih juga belum peringkat pertama di kelasnya. Juga saya tidak mengerti, ketika keponakan saya di status update facebook-nya berkata bahwa hasil UTS menempatkan dia di ranking 18.


Dua anak ini kan masih SD, yang pertama kelas 1 dan yang kedua kelas 6, kenapa justru mereka diranking? Masih SD gitu, loh....


Di rapor sekolah saya, tingkat SLTA, di Tangerang, tidak ada kolom untuk peringkat/ranking. Jadi kami tak mengurutkan nilai anak untuk mengetahui siapa ada di ranking apa. Rapor itu

tidak kami cetak sendiri, melainkan dibeli dari MKKS dan digunakan baik oleh sekolah negeri maupun swasta di kota Tangerang. Jadi kebijakan ‘rapor tanpa kolom peringkat’ bukan cuma ada di sekolah saya, tapi disepakati bersama.


Memang kemudian para wali kelas kami melihat siapa yang nilainya paling besar di lembar ledger. Bukan karena hendak membandingkan peringkat anak, tapi semata-mata untuk mengetahui pada siapa dana beasiswa prestasi akan disalurkan.


Saya sendiri setuju pada pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan bukanlah perlombaan. Kalau ada sebuah kompetisi, dipasang judulnya perlombaan apa, atau pertandingan apa, silakan deh anak kita ikut untuk memperebutkan tahta juara.




Tapi pendidikan bukan seperti itu. Education is a journey, not a race. Pendidikan adalah sebuah perjalanan, bukan balapan. Lagipula anak kita bukan kuda atau sapi, kan?


Kalau jaman dulu, memang kita dipertandingkan dengan teman sekelas. Di samping nilai milik kita di buku rapor, ada nilai rata-rata kelas. Apakah seorang anak cerdas atau tidak ditentukan dengan apakah nilai ia berada di atas atau di bawah nilai tersebut.


Tapi sekarang zamannya sudah beda. Anak-anak ini diberi pendidikan bukan untuk mengungguli rekan-rekan sekelasnya. Mereka belajar setiap hari di sekolah agar bisa 'terbangun', terbangun akalnya, hatinya, jiwanya, badannya. Seperti lagu kebangsaan kita itu loh, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya....”


Seringkali terjadi jurang pemisah di kelas akibat sistem peringkat ini. Ada geng anak pintar, dan anak peringkat buncit semakin percaya kalau dirinya memang sudah terlahir sebagai pecundang.


Dengan sistem peringkat, anak-anak kita juga jadi keranjingan menjatuhkan, bukan terbiasa bekerja sama. Ngapain bagi-bagi ilmu, ngapain ngajarin temen yang ga bisa? Nanti dia ngerti, trus gue tersingkir dari ranking satu dong. Akhirnya, yang merasa kurang pandai mengambil jalan pintas: menyontek. Toh, nilailah yang dihargai, sumber segala privilege di dunia pendidikan yang kejam kayak gini.


Jadi saya sepakat dengan rapor yang dicetak oleh MKKS Kota Tangerang. Tak perlu ada peringkat di rapor. Malah, orang tua tak perlu menjawab pertanyaan orang tua bila mereka bertanya ranking berapa anaknya di kelas.


Kenapa orang tua tak perlu diberi tahu? Karena orang tua kadang dengan cepat bertindak: “Masak sama anak tetangga kamu kalah? Bodoh sekali sih, kamu! Mulai besok ikut les ini les itu les anu.” Nah, akhirnya anaknya lagi yang menjadi korban.


Orang tua harus memandang keberhasilan anak dari apa yang telah dia capai sebelumnya, dan dari potensi apa yang sebenarnya anak punya. Bagaimana dukungan yang dapat diberikan orang tua, dan sisi mana yang bisa mereka ambil, agar sekolah dan orang tua bisa sama-sama menyediakan kondisi yang mendukung anak untuk tumbuh dan mekar.


Iya, untuk tumbuh dan mekar, yang berarti menjadi yang terbaik sesuai potensi dan keunikannya, bukan untuk dibandingkan dengan orang lain.

Sekolah tentu saja harus jadi pihak pertama yang menyadari hal ini. Hapuskan sistem peringkat dari rapor, dan dari keseluruhan sistem pembelajaran. Buat sistem yang mendorong pembelajaran kolaboratif, bukan kompetitif.


Contohnya? Mmmm.... Apa ya? Gini deh, misalnya, jangan cuma siswa dengan nilai akademik tertinggi yang diberi piala atau piagam atau bingkisan. Yang kehadirannya 100% juga harus diberi. Yang membawa harum nama sekolah dalam kegiatan ekstrakurikuler juga harus diberi


Nah, bagaimana kalau sekolah anak kita berdalih bahwa sistem peringkat adalah peraturan dari ‘atas’?


Wah, dalihnya basi tuh. Kurikulum sekolah kebanyakan sudah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), jadi tidak lagi bisa berdalih bahwa ini peraturan dari atas, karena sekolah memiliki otonomi yang luas sekarang ini.




Bagaimana kalau sekolah teteeeeeeup keukeuh menggunakan sistem peringkat? Ya orang tua yang harus maju dan bertanya.


“Saya ga mau anak saya jago menyingkirkan orang. Saya lebih suka anak saya bisa bekerja sama, menyadari bahwa dia dan teman-temannya saling mengisi dengan keunikan mereka. Jadi, kenapa ada peringkat di SD ini?”


Bagaimana kalau sekolahnya dibilangin tapi terus ngeyel? Yah, akhirnya, moms clean the mess, as always. Kita, lagi-lagi kita, yang harus membereskan kekacauan yang diperbuat sekolah. Orang tua yang berkewajiban memberi pengertian pada anak, bahwa peringkat satu bukan jaminan kebahagiaan dan kesuksesan. Ranking itu ga penting!


Yang penting apa, dong? Yang penting punya banyak teman (biarpun bukan orang kaya dan ga punya mainan mahal model terbaru), yang penting menemukan minat diri, yang penting enjoy di sekolah.


Nah lo, jadi bentrok dong sama ajaran sekolahnya? Di sekolah disuruh berlomba jadi peringkat satu, eh di rumah malah dibilang ga penting. Ya begitulah, salah sendiri masukin anak ke situh, hwehehehehe....


Hare gene masing ada ranking-rankingan? Ck ck ck.... Jadul banget ga seeeeh....