21 July 2010

SAKSI KEHIDUPAN

Bu..."

Di tengah-tengah lalu lalang tamu undangan, seseorang tiba-tiba berdiri di hadapan saya, menyapa dan memberi salam. Badannya tinggi hingga saya sampai mendongak mencari wajahnya.

"Eh, Yoga ya?"

"Iya, Bu," katanya sambil nyengir.

Saya terpana, "Bener ini Yoga?"

Yoga ini dulunya murid saya, lulus dua tahunyang lalu. Tak disangka, di resepsi pernikahan seorang teman, saya bertemu lagi dengannya. Dia memakai seragam hitam-hitam bertuliskan 'crew' dan ada kamera besar di bahunya.

Sambil menikmati hidangan, saya mengingat kembali pertama kali saya bertemu Yoga. Saat MBS (masa bimbingan studi) lima tahun yang lalu. Yoga masih berusia 15 tahun, baru saja lulus SMP, dengan rambut klimis dibelah pinggir. Wajahnya masih kekanak-kanakan dan tingginya belum semenjulang sekarang.

Hampir setiap hari bertemu selama tiga tahun dengannya sejak itu, saya jadi tak menyadari bahwa Yoga -seperti juga seluruh temannya- berubah sedikit demi sedikit. Apalagi mereka sudah SMA, makin matang dan mulai menginjak dewasa. Begitu perayaan perpisahan, dan video MBS tiga tahun yang lalu kembali diputar, kami semua baru sadar, anak-anak ini sudah besar sekarang.

Saya makin yakin, bahwa guru adalah profesi yang hebat. Tak banyak profesi, di mana anda bisa menyaksikan dan menemani kehidupan banyak manusia yang tumbuh menjadi besar. Dan sedikit banyak, guru punya pengaruh dalam pertumbuhan itu.

Mungkin banyak anak yang pencapaiannya luar biasa, jauh melebihi Yoga. Misalnya lolos ke universitas negeri atau dapat beasiswa ke negara asing. Memang sejak dulu, Yoga adalah anak yang biasa saja. Dia anak yatim, memang lumayan rajin, tapi bukan anak yang luar biasa pintar dalam bidang akademik.

Yoga kini kuliah dan membiayai kuliahnya dengan menjadi kameramen freelance di sebuah studio video shooting. Kampusnya kampus kelas dua, tempat kerjanya pun hanya usaha kecil. Tapi anehnya, seperti seorang ibu yang menjadi fans setia anaknya, saya kini bangga setengah mati pada Yoga.