31 December 2007

Standing Applause

Ya, saya harus menyampaikan banyak terima kasih kepada Pak Ismail Marahimin, dosen Penulisan Populer di FSUI (sekarang FIB UI). Metode dan materi kuliahnya memang saya contek habis untuk mengajar materi Ragam Paragraf dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di kelas X SMA. Kelas Pak Ismail adalah kelas menulis satu-satunya yang saya ikuti selama ini. Mungkin juga karena itu saya jadi nyontek abis metode beliau, karena gak ada referensi lain, hehehe…


Urusan nyontek metode itu juga termasuk ketika kami mulai masuk materi Narasi. Yang saya ingat, di kelas Pak Ismail, kami memulai penulisan narasi dari menulis kenangan, lalu mengganti akhir cerita rakyat, membuat cerita cinta, sampai akhirnya menulis cerpen bebas. Semua bertahap, dari yang paling dekat dengan kita, melatih bagian demi bagian, hingga satu cerita utuh. Itu juga yang saya lakukan di kelas.


Karena sekolah tempat saya mengajar tidak memiliki halaman yang rindang, saya membawa anak-anak ke selasar masjid pada hari Rabu. Selama 2 jam, mereka boleh menulis di mana saja, asal masih di lingkungan masjid, sambil bersandar, selonjoran, atau tiduran. Iya dong, otak kan harus dalam keadaan flow ketika belajar, apalagi belajar mengarang yang perlu banyak menggunakan imajinasi.


Saya membagikan 3 cerita kepada mereka: Roro Jonggang, Timun Mas dan Jaka Tarub. Semua cerita itu hanya sampai pada konflik. Anak-anak itu yang harus membebaskan imajinasi mereka dan menyelesaikan akhir ceritanya se’gila’ mungkin. Dan mereka melakukannya.


Saya tertawa-tawa melihat hasil tugas kali ini. Bagaimana kalau teryata Nawang Wulan yang kembali ke kahyangan justru didorong jatuh lagi ke bumi oleh saudara-saudaranya karena mereka iri pada Nawang Wulan yang menikah? Atau juga bagaimana jika Nawang Wulan meskipun menemukan selendang namun tidak berminat kembali ke kahyangan dan justru menjadi pengusaha yang sukses menjual selendang ke tukang jamu gendong?


Atau Bandung Bandawasa yang marah di pagi itu menemukan Roro Jonggrang sedang minum kopi, lalu mengutuknya, bukan jadi candi Prambanan, tapi jadi kue tart? Kok kue tart? Iya, soalnya menurut Bandung, gak sip kalau minum kopi gak pake kue tart! Huahahahaha… Ada-ada saja anak-anak ini!


Di pertemuan selanjutnya, saya meminta anak-anak berdiri dan bertepuk tangan. Standing applause! Mereka melakukannya, walaupun bingung, untuk apa dan untuk siapa tepuk tangan ini. Saya kemudian menjelaskan bahwa setidaknya ada 3 hal yang membuat saya bangga hari itu.


Pertama, saya membolehkan gaya belajar yang santai, tapi mereka tak ada yang mangkir dari tugas, termasuk beberapa anak-anak yang sulit. Mereka membuktikan bahwa mereka bisa bertanggung jawab. Kedua, tak ada satupun cerita yang sama, dan ini membuktikan mereka memakai otak sendiri. Tidak ada acara mencontek hari itu. Ketiga, akhir cerita yang mereka buat begitu beragam, dari romantis sampai konyol, membuktikan bahwa mereka memang kreatif. Hebat!


Mendengar penjelasan saya, serentak kelas itu mengulangi standing applause, tanpa dikomando. Saya mengerti, anak-anak ini sekarang tahu kalau mereka telah melakukan hal yang baik. Tepukan mereka adalah tanda penghargaan bagi diri sendiri, satu hal yang kadang sulit mereka dapatkan.


Ah, saya memang suka jadi guru.