19 November 2007

Hari Pertama

Coba ingat-ingat, apa yang terjadi di hari pertama sekolah kita masing-masing? Menyenangkan? Kalau saya, ketika masuk SMP, tiga hari pertama diisi ceramah umum dari direktur ma'had. Bagus, tentu saja, tapi tidak bisa dibilang menarik. Waktu SMA, tiga hari pertama ada penataran P4. Hasilnya, saya tidak pernah paham tentang wawasan wiyatamandala dan teman-teman sebangsanya. Terakhir, waktu kuliah, tiga hari pertama saya dibentak-bentak senior, bawa tas karung terigu berisi singkong rebus, dan pakai kalung dari gula merah.


Nah, hari pertama sekolah itu traumatis kan, jadinya.


Kenapa saya jadi mengingat-ingat masa lalu? Itu karena beberapa teman di Jepang bercerita tentang nyuugakushiki (mudah2an gak salah nulis) anak-anak mereka di TK atau SD. Nyuugakushiki adalah upacara masuk ke sekolah baru. Diceritakan bahwa pada acara tersebut, semua berpakaian formal, dengan jas dan gaun resmi atau kimono. Ada pejabat lokal, ada penyambutan, ada kamera. Semua acara orang tua dibatalkan untuk menghadiri penyambutan anak mereka yang masuk SD, atau bahkan TK.


Wah, wah. Begitukah awal hubungan antara arang tua dan pihak sekolah? Hm, coba saya ingat-ingat tentang hubungan orang tua dan pihak sekolah yang terjadi di tempat saya mengajar. Kapan orang tua datang ke sekolah? Ketika pengambilan rapor, saat dipaparkan pada mereka tentang nilai-bilai anak mereka yang merah terbakar. Kapan lagi? Hm, saat ujian semesteran sudah dekat dan tunggakan SPP sudah 4 bulan belum terbayar. Kapan lagi? Tentu saja saat anak benar-benar sulit ditangani dan terpaksa dibuatkan surat perjanjian atas tingkah-tingkah keterlaluannya. Wah, menakutkan sekali. Tak ada awal yang baik seperti nyuugakushiki di atas.


Bagaimana dengan hari pertama bagi siswanya? Pengalaman saya, ya di atas tadi. Sampai sekarang, acara orientasi seperti Masa Bimbingan Studi masih saja menyisakan bau-bau perpeloncoan. Banyak anak yang masih merasa bahwa acara MBS menambah beban mereka yang masih digelayuti kekhawatiran tentang proses adaptasi di tempat baru.


Dibandingkan dengan MBS, nyuugakushiki terlihat lebih menghormati dan menganggap anak penting di hari pertama sekolah. Mereka tidak memakai topi konyol atau dandanan aneh, tapi mengenakan busana terbaik mereka didampingin orang tua yang sama rapihnya. Atau bila kita lihat malam pertama di Hogwart, sekolah berasrama tempat Harry Potter belajar, suasananya amat berbeda. Kepala sekolahnya bicara sepatah dua patah kata, lalu… makan malam lezat untuk semua. Awal yang menyenangkan.


Ini Indonesia, tentu saja, bukan Jepang. Hogwart pun juga tidak nyata. Tapi ide tentang awal yang baik dan menggembirakan di sekolah adalah nyata, dan bisa diwujudkan.

04 November 2007

Hari Ini, Gunakan Otak Kanan Dulu

Bangun tidur, kamar masih gelap, belum melakukan apa-apa, sementara pikiran melayang pada jadual hari ini. Seprai sudah saatnya dicuci. Si kecil perlu buah untuk bekal sekolah besok, sekalian mampir beli sabun cuci piring. Cucian kering sudah segera harus disetrika. Kursus habis zuhur. Sempatkan baca buku yang sudah tertunda dua minggu.

Apakah anda punya rutinitas seperti di atas, bangun pagi dan segera terbayang daftar pekerjaan yang harus diselesaikan? Kalau iya, berarti anda mirip saya. Kalau kemudian daftar panjang itu dikomentari sendiri dengan keluh: "Haaah, hari yang berat, neeeh....," maka itu tanda anda bukan hanya mirip, tapi mirip banget dengan saya.

Sebenarnya saya baru sadar memiliki rutinitas seperti itu, rutinitas yang katanya 'mendahulukan otak kiri.' Seperti yang sudah kita tahu, otak kiri adalah tempat bagi logika, keteraturan, urutan, rencana, aturan dan semacamnya. Itu semua membuat apa yang kita lakukan terorganisasi dengan rapi. Sayangnya, tak ada kegembiraan di sana. Kalau tidak ada kegembiraan, tak ada semangat. Kalau tak ada semangat, jadilah rutinitas harian sebagai ibu rumah tangga sebagai sumber stres.

"Gunakan otak kanan dulu!" begitu nasihat Hernowo dalam bukunya yang sekarang sedang saya baca (blum slesai sih, hehehe...). Otak kanan adalah tempat yang acak, tapi ia menggerakkan emosi, semangat, keingintahuan, imajinasi, kebebasan dan gairah. Dengan memulai dari sini, kita bisa merubah jadual harian menjadi sesuatu yang lebih 'fun.'

Bagaimana caranya?

Ingat-ingat, kegiatan apa yang membuat kita gembira hari ini? Oke, kita nantikan kedatangannya dengan bersemangat. Kegiatan apa yang bisa membebaskan diri dari masalah? Wah, bukankah itu amat baik dilakukan? Ayo lakukan! Lalu, apakah kegiatan hari ini menambah kekayaan batin saya? Kalau ya, berarti menjalani hari ini memang berkah-Nya. Apakah ada hal baru yang akan saya temui hari ini? Wah, apa ya, kira-kira? Jadi gak sabar nih...

Bukankah indah mengawali hari dengan antusiasme seperti di atas?

Anak saya, sering mengeluh karena lama sekali waktu yang harus dilewati agar sampai pada jadual nonton tv jam satu siang. Dulu saya hanya menjelaskan kalau dia harus mandi dulu, sarapan, berangkat sekolah, pulang, mengerjakan tugas kalau ada, makan siang, tidur siang, baru nonton tv.

Mungkin besok saya akan terangkan kalau dia akan lebih dulu main air di bak bersama adik, makan makaroni keju, lalu bermain dan bernyanyi dengan bu guru dan teman-teman, dijemput mama, menghabiskan lauk kesukaan, mengistirahatkan badan agar segar, lalu nonton serial favoritnya. Hm..., rasanya memang lebih menimbulkan antusiasme.

Setelah itu, setelah antusiasme muncul dan bergelora, pakai otak kiri agar jadual hari ini tidak acak-aduk. Otak kiri membantu kita mengatur apa yang harus didahulukan, apa yang harus diingat, apa yang harus ditambahkan, berapa lama kita harus melakukan suatu kegiatan, bagaimana langkah paling efektif dan efisien yang harus diambil, dan seterusnya, dan seterusnya.

Otak di kepala ini nikmat yang tak ternilai, bukan? SubhanaLlah, alhamduliLlah.

Jadi, hari ini, pakai otak kanan dulu, lalu sempurnakan dengan yang kiri. Selamat menjalankan hari yang indah ini!

Konstruktivisme dan SAVI

Saya memang tidak tahu banyak soal ilmu kependidikan. Itulah mengapa saya baru tahu tentang apa yang disebut konstruktivisme. Ternyata, susunan kata yang ribet itu membuat saya terpesona. Ini karena ia merupakan aliran dalam ilmu kependidikan yang menyatakan bahwa ilmu tak dapat dipindah seperti kita menuang air dalam gelas. Ilmu hanya bisa dipindahkan bila si pembelajar itu mengkonstruksi pengetahuan yang didapat dalam dirinya sendiri.

Bayangkan air yang dituang dalam gelas. Apa yang terjadi padanya? Hampir tak ada. Diam, pasif, walaupun cepat penuh. Sekarang, bayangkan jika air dituang ke benih pohon. Benih itu menyerapnya, mungkin lebih pelan dibanding mengisi air ke gelas. Air diubah menjadi berbagai zat, dibawa ke semua bagian, dan membuat pohon itu tumbuh, besar, mungkin juga berbunga, dan berbuah. Itulah tamsil bagi konstruktivisme.

Berapa lama, ya, saya menjadi anak sekolahan? Tentu bila dihitung, ratusan buku sudah saya pelajari selama belasan tahun. Kenapa saya merasa kalau sedikit sekali yang saya ingat? Jangan-jangan saya ini 'gelas' juga, yang terus diisi, tapi luber kemana-mana. Akhirnya, ya segitu-segitu juga isinya.

Jadi, bagaimana dong mengonstruksi pengetahuan yang kita dapat? Secara teori, caranya bisa macam-macam. Misalnya, kita bisa langsung mengerjakannya, dengan tubuh dan indera kita (Somatis). Di mana-mana, yang namanya praktek dan terjun langsung selalu membuat kita lebih paham.

Bila bertemu kata sulit atau kalimat yang perlu diingat, ucapkanlah keras-keras. Ulangi dengan berirama, ucapkan seolah kita mengajar di depan kelas, atau minta orang lain mengucapkannya. Biarkan diri kita mendengarnya (Auditori).

Siklus air, rantai makanan, atau bahan resep kue akan lebih 'nyantol' bila kita menggambarnya. Kalau merasa sama sekali tak berbakat, paling tidak kita bisa membayangkannya dalam pikiran. Mencatatlah dengan menambah gambar yang berwarna-warni, karena otak lebih sensitif pada gambar dan warna (Visual).

Bila membaca, usahakan memegang catatan dan alat tulis. Mencatat kembali dengan bahasa sendiri mengharuskan kita mengonstruksi pengetahuan yang kita dapat (Intelektual). Membaca dengan mencatat ini yang disebut dengan 'mengikat makna,' karena apa yang kita baca akan meninggalkan sesuatu.

Keempat cara diatas dikenal dengan SAVI, somatis, auditori, visual, intelektual.

O ya, ngomong-ngomong tentang mengikat makna, sebenarnya itulah yang saya lakukan saat ini. Saya menuliskan kembali apa yang bisa saya tangkap dari sebuah buku yang sedang saya baca. Siapa tahu bermanfaat juga bagi anda, yang baca.

Bukan Saya Favorit Mereka

Suatu kali, saya meminta siswa di kelas membuat karangan eksposisi dengan judul PALING SUKA. Di sana, mereka akan memaparkan apa yang paling mereka suka, dari makanan, hari, pakaian, diri sendiri, sampai pelajaran.

Saya memang selalu menikmati saat mengoreksi tugas mengarang. Bangga juga melihat hasil tulisan anak-anak ini. Ternyata, mereka kebanyakan mampu menulis satu sampai dua halaman di buku tulis besar. Kuncinya, beri mereka judul atau tema yang menarik, seperti tema 'paling suka' tadi.

Saya tersenyum-senyum, mengetahui apa yang paling siswa-siswa sukai dan alasannya. Ada yang suka nasi uduk di Rawabelong, yang jauh sekali dari sekolah kami. Ada yang suka hari Kamis, karena katanya hal baik sering terjadi padanya di hari itu. Ada yang suka rambut yang menurutnya keren, atau suara yang katanya indah.

Yang saya perhatikan sebenarnya ketika sampai pada paragraf yang menjelaskan tentang pelajaran favorit mereka. Saya menanti-nanti, hingga buku terakhir selesai dikoreksi. Menanti apa? Tentu saja menanti berapa orang yang memilih Bahasa Indonesia, pelajaran yang saya ajar, sebagai pelajaran yang mereka paling suka.

Berapa anak yang ternyata memilih demikian? 3 orang!

Suami saya tertawa ketika saya mengadukan jumlah itu padanya. Apa yang salah, ya? Rasanya saya sudah mencoba membuat suasana se'fun' mungkin. Saya memilih judul yang menarik untuk mengarang, memakai spidol berwarna di papan tulis, menggunakan mind map saat mencatat, membiarkan mereka bermain dengan kertas origami dan spidol warna sesering mungkin, memamerkan karya di mading, dan sebagainya. Mendengar alasan-alasan itu, suami saya tambah terbahak-bahak.

Akhirnya saya juga ikut tertawa. Ah, nggak lah. Bukan untuk jadi guru favorit saya mengajar. Penghargaan kan bukan dari manusia. Kalau ternyata bukan pelajaran saya yang mereka paling suka, apa lalu saya jadi kehilangan antusiasme mengajar? Saya berusaha memberikan yang terbaik, karena Allah saja yang diharapkan ridhaNya. Amin.

Mmm... Ngomong-ngomong, judul apa ya, yang akan saya berikan untuk mengarang pekan depan? Bagaimana kalau... 'Belajar Bahasa Indonesia bersama Bu Irma,' hehehe... Suami saya kayaknya bakal bilang sambil setengah meledek, "Udahlah, Neng. terima aja kalau Bahasa Indonesia bukan favorit mereka..."

Bahagia Jadi Guru

Ketika kami, saya dan keluarga, keluar dari Padasuka menuju Suci, dua nama jalan di Bandung, saya melihat spanduk dari sebuah lembaga amil zakat. Bunyinya begini: Cinta guru dengan zakat, atau semacam itulah.

Terus terang saya terkejut. Ada dua hal yang menyebabkannya. Yang pertama, ada sebuah profesi yang katanya begitu mulia, menjadi awal dari semua profesi yang ada, membutuhkan tingkat keterampilan yang tinggi, namun para penyandangnya justru menjadi mustahiq zakat. Yang kedua, sampai ketika membaca spanduk itu, saya baru dihadapkan pada pihak yang berani menyatakan bahwa guru termasuk mustahiq, yang artinya tak jauh dari lingkaran fakir miskin.

Sementara itu, kurikulum lewat sekolah, menghendaki guru membuat program tahunan, program semester, Distribusi tiap kompetensi dasar, rencana pembelajaran harian, portofolio, soal ujian, pengoreksian jawaban, nilai ulangan blok, nilai praktek, sampai absensi siswa. Selain itu kehadiran, ketepatan waktu, potongan-potongan gaji dan seterusnya ikut memenuhi kepala para guru.

Bagaimana dengan sertifikasi guru yang sekarang sedang ramai-ramainya? Bukankah sertifikasi dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan guru? Ah, mengajar 30 tahunpun, yah, 30 tahun, belum jaminan seorang guru bisa mendapatkan poin cukup untuk disertifikasi.

Kondisi ini menerbitkan pertanyaan di hati:
Ketika kondisi ekonomi sedemikian sulit, di mana harus diletakkan idealisme dan antusiasme mengajar seorang guru?
Bila memilih profesi guru berarti memilih hidup sederhana, bagaimana cara menjadi guru yang bahagia?