23 April 2007

Eskul Film Menang!

Apa saya sudah cerita kalau di sekolah saya mengajar ada ekstrakurikuler Film? Ya, ada. Hihihi, gaya juga yah, macam sekolah orang kaya saja. Pembimbingnya mahasiswa, yang masih idealis hingga mau datang tanpa dibayar. Pesertanya 20% dari jumlah seluruh siswa dan sangat antusias (saya tahu karena hampir semua peserta menyinggung eskul ini ketika saya beri tugas mengarang berjudul ‘Sekolahku’). Setiap pekan mereka berkumpul di ruang sisa yang sempit, nun jauh di pojok lantai tiga sana.

Kemarin sore, saya mendapat sms dari pembina OSIS. Isinya, “Bu, alhmdlh kt jd film tbaik di cinema fever.” Wah, kabar mengejutkan sekaligus menggembirakan. Ceritanya, salah satu film karya mereka diikutkan dalam festival film antar SMA se-Jakarta Selatan. Dan mereka menang! Ada 3 penghargaan diraih: pencahayaan terbaik, kameramen terbaik dan film terbaik. Selain piala dan piagam, kabarnya ada uang satu juta rupiah.

Saya bertemu mereka keesokan harinya di rumah Bu Aroh, sedang syuting untuk film selanjutnya. Wah, orang sekampung pada ngerubungin katanya, serasa lagi bikin sinetron jadinya. Wajah mereka terlihat sumringah, dan menurut pembimbing eskul, itu piala bergilir menginap di rumah-rumah kru. Oalah….

Bagi saya, penghargaan yang anak-anak itu dapat menandakan bahwa yang mereka lakukan ‘berharga.’ Bila sesuatu dianggap berharga, maka ia harus dijalani dengan sebaik-baiknya. Bukan begitu bukaaaan?

Lalu, ada beda antara izzah dan kibr. Izzah adalah perasaan bangga dan menganggap diri memiliki arti dan nilai. Bagi remaja, ini hal yang sangat penting, yang bisa meneguhkan eksistensi yang biasanya sedang mereka cari. Mudah-mudahan, kemenangan yang mereka dapatkan bisa menghadirkan izzah di hati mereka.

Kibr, kesombongan, adalah satu hal yang berbeda. Apa sih sombong itu? Rasul bilang, sombong itu merendahkan orang lain dan menolak kebenaran (siapa yang bisa nolong kasih tahu periwayatnya? Plisss…). Nah, kemenangan yang didapat boleh menimbulkan izzah, tapi jangan menumbuhkan kibr. Kemenangan tidak boleh membuat anak-anak ini merendahkan orang lain, apalagi membuat mereka menolak kebenaran.

Terakhir, pada pembimbing eskul, saya wanti-wanti tentang standar moral dalam kegiatan siswa. Bersama dalam suatu kegiatan dengan frekuensi yang tinggi dan rentang waktu yang lama seperti pembuatan film bisa saja menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Awas kalo sampai ada apa-apa! Jadi pertama, pembimbing eskulnya dulu yang harus bener, ya kan? Dia bilang, “Tenang, aja. Gue sekarang rajin sholat kok!” Apppaaaa? Sekarang? Lha, berarti dulu…..?

13 April 2007

Mau kenal saya?

Kisah Sedih di Hari Kamis

Wakil kepala di sekolah tempat saya mengajar berkata bahwa ada seorang lagi siswa kelas XI yang kemungkinan akan keluar. Ia baru saja mengadakan konseling pada siswa tersebut dan tampaknya masih belum ada jalan keluar. Begini ceritanya.

Si siswa yang dibicarakan ini bukan anak yang cemerlang. Saya mengajarnya di kelas satu dan tahu bahwa ia memang biasa saja, dari segala segi. Belakangan, hampir dua minggu ia tak tampak di kelas. Begitu ia masuk dan diadakan konseling, jawaban yang diberikan adalah, “Saya mau berhenti sekolah.”

Ternyata orang tuanya sudah bercerai. Si ayah menikah lagi, disusul oleh si ibu. Kedua orang tuanya sudah memiliki keluarga baru lagi sekarang. Tapi dia tidak. Anak ini kehilangan rumah, tempat pulang dan berlindung. Parahnya lagi, setelah sibuk dengan keluarga baru, tidak si ayah, maupun si ibu, yang bersedia menanggung biaya pendidikannya.

Setelah merasa asing di kedua rumah orang tuanya, ia memilih tinggal bersama neneknya di Kebayoran Lama. Neneknya yang miskin tak mampu membiayainya sekolah. Maka, ia memutuskan berhenti.

Jeri rasanya.

O, saya tidak terlalu fanatik pada pendidikan formal. Ilmu bisa didapat di mana saja, tapi tidak begini caranya. Orang dewasa tidak selalu paham apa yang mereka korbankan ketika mengambil keputusan. Juga kadang ditambah abai dengan tanggung jawab yang terus mereka punyai setelah itu.

Ah, satu kisah sedih lagi hari ini.